Legalisasi ganja untuk medis terus diperjuangkan Dwi bersama dua ibu lain dan tiga organisasi. Mereka bahkan mengajukan uji materi UU Narkotika Pasal 6 ayat 1a dan Pasal 8 ayat 1 ke Mahkamah Konstitusi.

Kedua pasal tersebut, selama ini membuat pengguna terapi mariyuana medis di Indonesia terancam hukuman penjara. Dwi sendiri pantang menyerah dan terus maju ke pengadilan meski sang anak yang megidap ‘cerebral palsy’ tak lagi dapat menjalani terapi minyak ganja di Indonesia.

Padahal sebelumnya, terapi jenis tersebut pernah dijalani anaknya saat di Australia. Bahkan kondisi sang anak disebutkan membaik.

Meski sang anak sudah tiada, legalisasi ganja untuk medis terus diperjuangkan Dwi

Hanya berselang 10 hari dari sidang perdana gugatan pada 16 Desember 2020, putra Dwi bernama Musa Ibnu Hasan Pedersen akhirnya meninggal dunia.

Namun hal itu tidak menghalangi Dwi untuk terus melanjutkan permohonannya. Lewat kuasa hukum pemohon, Erasmus Napitulu yang juga Direktur Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus, Dwi meminta melanjutkan perkara.

Sebab beradasarkan putusan MK No. 80/PUU/XIV/2016, ibu dapat mewakili proses hukum anaknya yang masih berusia di bawah 15 tahun.

Kami membuka opsi untuk kemudian apabila Yang Mulia menyatakan tidak dapat diwakili Almarhum karena suda meninggal, maka yang menjadi pemohon tetap Ibu Dwi Pertiwi,” tutur Erasmus, seperti dilansir CNN Indonesia, Rabu (21 April).

Negar diminta untuk dapat melakukan pemanfatan, penelitian dan pengaturan terhadap ganja untuk alasan kesehatan

Jadi tujuan kami, Yang Mulia, dalam perbaikan ini kami sudah lampirkan lagi adalah agar nantinya negara dapat melakukan pemanfaatan, penelitan, dan pengaturan terhadap narkotika Golongan I. Untuk layanan kesehatan, sebagaimana sudah dilakukan dan diakui berbagai negara di dunia,” lanjut Erasmus.

Terkait hal tersebut, Hakim MK Suhartoyo mengatakan akan mencermati dengan seksama.

Legalisasi Ganja Untuk Medis Terus Diperjuangkan Wanita Ini Meski Sang Anak Sudah Meninggal!
via Emerald Magazine

Dwi sendiri mengaku memberi terapi minya ganja pada putranya selama mereka berada di Victoria, Australia pada 2016 silam. Sayangnya terapi tersebut otomatis terhenti saat mereka kembali ke Indonesia.

Pasalnya ganja medis dilarang, dan hukum yang berlaku secara tidak langsung ‘menghalangi’ pengobatan Musa. Padahal selama menjalani terapi itu, Dwi mengklaim hasil positif dalam perkembangan kesehatan Musa.

Sementara dua penggungat lainnya ternyata juga memiliki anak yang kasusnya sama dengan Musa. Keduanya disebut tertarik mencoba terapi itu di Australia. Namun biaya menjadi halangan utama.

Bukan kasus meninggal pertama terkait kebutuhan ganja untuk medis.

Melansir Vice.com, meninggalnya seseorang karena kebutuhan ganja bukan kejadian pertama. Pada 25 Maret 2021, Yayasan Sativa Nusantara (YSN) juga menyorti kasus Fidelis Arie.

Pria tersebut harus mendekam di penjara selama 8 bulan karena meramu tanaman ganja untuk terapi sang istri empat tahun lalu. Dari pengakuan Fidelis, istrinya mengidap penyakit langka syringomyelia (gangguan syaraf tulang belakang) dan tak bisa ditangani rumah sakit.

Kesehatannya pun baru membaik saat mengkonsumstri ekstrak ganja. Namun sayangnya istri Fidelis meninggal saat ia berada dalam sel.

Fidelis Ari – via Merdeka.com

YSN mendorong DPR dan pemerintah untuk segera merivisi UU Narkotika yang ada hari ini, agar pasien yang membutuhkan ganja medis di Indonesia memiliki akses yang terjamin hukum. Selain itu dalam perubahan kebijakan mengenai ganja ke depan, DPR dan pemerintah juga perlu untuk memikirkan pelibatan petani lokal dan mereformasi kebijakan narkotika, termasuk ganja.”

Faktanya setelah Fidelis, Yeni Riawati dan Musa Pedersen, masih banyak berbagai kasus lain yang lolos dari sorotan dan masyarakat.

Semoga segera ditemukan jalan keluarnya, agar mereka yang memang membutuhkannya untuk medis dapat tetap ‘bertahan’ hidup, atau bahkan membaik.