Penjelasan isu UU ITE, buat lo yang missing out!

UU ITE jadi pembicaraan hangat di jagat maya, khususnya di media sosial.

Isu ini bermuara dari ucapan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu yang menyoal tentang perlunya kritik masyarakat terhadap pelayanan publik dari pemerintah.

Tak butuh waktu lalu lama, pernyataan tersebut menuai respon beragam dari para netizen. Fokus diskusinya mempermasalahkan tentang UU ITE yang kerap menjerat mereka yang melayangkan kritik pada pemerintah.

Bukan cuma dari khalayak umum, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sempat angkat suara terkait hal ini.

Beberapa hari lalu, bapak presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah. Tapi banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?” kata JK dalam diskusi PKS, dikutip Sabtu (13/2).

Via Giphy
Via Giphy
Baca juga: Dota 2 Diadaptasi Jadi Serial Animasi Netflix Berjudul “Dota: Dragon’s Blood”

Penerapan kurang optimal

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui bahwa Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengandung pasal karet yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi pihak lain.

Karena alasan tersebut, ia menjelaskan bahwa pihak kepolisian pun akan lebih selektif dalam penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Alih-alih lewat jalur hukum, pihak polisi akan lebih mengutamakan langkah edukasi dan persuasi.

Listyo juga akan menggunakan langkah yang bersifat restorative justice (keadilan restoratif), upaya pendekatan yang bertujuan mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa.

Via Giphy
Via Giphy
Baca juga: Netflix Tawarkan Beasiswa Sekolah Anime di Tokyo, Warga Indonesia Bisa Ikutan

Pasal-pasal karet UU ITE

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengungkapkan, setidaknya ada sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE.

Kesembilan pasal tersebut adalah:

  • Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi: membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa. Butir ini sering digunakan untuk menuntut pidana netizen yang melayangkan kritik lewat dunia maya.
  • Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan: bermasalah soal sensor informasi.
  • Pasal 27 ayat 1 tentang asusila: karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.
  • Pasal 27 ayat 3 tentang dafamasi: karena bisa digunakan untuk represi warga yang menkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.
  • Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian: karena dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
  • Pasal 29 tentang ancaman kekerasan: karena dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.
  • Pasal 36 tentang kerugian: karena dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.
  • Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses: karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
  • Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi: karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.

Baca juga: Denmark Siap Bangun “Pulau Buatan” Penghasil Energi Bersih Pertama di Dunia

Akan direvisi, atau bahkan dihapus?

Menyusul kritikan yang terus mencuat, Presiden Jokowi pun membuka kemungkinan buat pasal-pasal karet di Undang-Undang tersebut direvisi, atau bahkan dihapus.

Ia menyadari, UU tersebut sering digunakan warga untuk melaporkan satu sama lain dengan polisi.

Jokowi pun menyayangkan hal ini, pasalnya Undang-Undang tersebut ia buat untuk melindungi masyarakat, bukan untuk menimbulkan rasa ketidakadilan.

Karena di sinilah hulunya, hulunya ada di sini, revisi. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” lanjut Jokowi.