Irak sedang mempersiapkan pengurangan usia legal mereka, yang tadinya seorang anak dinyatakan sudah dewasa saat berusia 18 tahun menjadi 9 tahun.

Hal tersebut akan diatur dalam revisi Undang-Undang yang bisa digunakan untuk memungkinkan laki-laki menikahi anak di bawah umur.

Lakukan perombakan besar-besaran pada UU 188 yang dianggap paling progresif di Timur Tengah di 1959

Berdasarkan laporan dari Telegraph, RUU ini diusulkan oleh Parlemen Irak—yang diketahui didominasi oleh koalisi partai-partai Muslim Syiah konservatif.

Pemerintah Irak sedang bersiap untuk melakukan pemungutan suara melalui amandemen yang akan membatalkan “Undang-Undang Status Pribadi” yang saat ini masih berlaku di negara tersebut.

Undang-Undang Status Pribadi (Personal Status Law) yang juga dikenal sebagai UU 188, digembar-gemborkan sebagai salah satu undang-undang paling progresif di Timur Tengah ketika diperkenalkan pada tahun 1959.

UU 188 juga memberikan seperangkat aturan menyeluruh yang mengatur urusan keluarga Irak, apa pun kepercayaan agama mereka.

Revisi UU 188 akan merugikan bagi para perempuan di Irak

Selain menurunkan batas usia sah untuk menikah, amandemen atau revisi Undang-Undang ini juga akan menghilangkan hak perempuan untuk bercerai, hak asuh anak, dan warisan.

Demi upaya merombak Undang-Undang Status Pribadi, pengusulan revisi undang-undang ini bukan kali pertama diajukan oleh partai Syiah di Irak.

Upaya perevisian UU 188 ini sebelumnya sempat gagal akibat mendapat reaksi penolakan keras dari para perempuan di Irak pada tahun 2014 dan 2017 lalu.

Kemudian sidang pembacaan revisi UU 188 yang kedua kalinya akhirnya disahkan pada 16 September 2024 lalu.

Pengamat sebut revisi Undang-Undang kali ini akan sukses untuk diloloskan

Sayangnya koalisi pada pemerintahan Irak kali kini memiliki jumlah mayoritas yang setuju untuk melakukan amandemen.

Peneliti senior di Chatham House, Dr Renad Mansour mengatakan, UU 188 kini dinilai berada di ujung tanduk karena mayoritas pemangku kepentingan dalam pemerintahan Irak sepakat untuk melakukan revisi Undang-Undang.

Pasalnya bukan hanya karena mayoritas pejabat yang didominasi koalisi partai Muslim Syiah konservatif, namun karena memang banyak pihak yang mendukung adanya amandemen untuk UU 188.

“Kali ini jadi kemungkinan yang paling besar untuk terjadi. Ini punyai momentum yang lebih besar dibandingkan sebelumnya, terutama karena partai-partai Syiah. Tidak semua partai Syiah, hanya partai-partai tertentu saja yang diberdayakan dan benar-benar mendorongnya,” kata Renad sebagaimana yang diberitakan The Telegraph, Kamis, 7 November 2024.


Let uss know your thoughts!