Persyaratan standar kemampuan berbahasa Inggris yang diukur berdasarkan skor TOEFL dalam rekrutmen pelamar calon pegawai negeri sipil (CPNS) digugat oleh seorang warga Medan bernama Hanter Oriko Siregar.
Seorang warga Medan ajukan gugatan ke MK terkait skor TOEFL sebagai syarat lolos CPNS
Hanter Oriko mengjukan gugatan terhadap UU Ketenagakerjaan dan UU Aparatur Sipil Negara (ASN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatan tersebut Hunter meminta MK untuk menghapus Test of English as Foreign Language (TOEFL) sebagai salah satu syarat untuk tes CPNS hingga proses rekrutmen di perusahaan swasta di Indonesia.
Gugatan tersebut didaftarkan ke MK pada 28 Oktober 2024 lalu dan telah didaftarkan dengan nomor perkara 159/PUU-XXII/2024.
Ia menilai jika persyaratan yang mewajibkan kemampuan berbahasa Inggris yang diperoleh dari skor TOEFL dalam tes CPNS merugikannya secara konstitusional.
Gugatan tersebut menggunakan Pasal 35 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan, dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.
Gagal lolos tes CPNS gara-gara skor TOEFL tidak mencukupi meski 4 kali percobaan
Sebelumnya Hanter telah mengikuti test CPNS untuk masuk ke tiga institusi negara, yakni di Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan.
Namun ia dinyatakan gagal karena setelah empat kali mencoba tes TOEFL, skor yang berhasil ia dapatkan paling maksimal hanya menyentuh 370.
Kegagalan dalam tes TOEFL tersebut dinilai menjadi penyebab utama dirinya gagal lolos tes CPNS di ketiga institusi tujuannya.
“Pemohon mendaftar CPNS dan melamar pekerjaan, baik dalam instansi negara/pemerintah maupun swasta adalah sesuai dengan kemampuan dalam bidang pengetahuan yang Pemohon miliki, serta jurusan yang Pemohon pilih dalam dunia pendidikan,” demikian bunyi gugatan Hanter Oriko Siregar yang dilansir dari laman resmi MK, Rabu, 13 November 2024.
Syarat TOEFL dinilai diskriminatif dan melanggar HAM
Dalam gugatan ia menganggap jika pemberlakuan syarat tersebut justru merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Ia berdalih jika tidak semua posisi di pemerintahan membutuhkan kemampuan berbahasa Inggris di level yang di atas rata-rata.
Terlebih lagi posisi pekerjaan tersebut tidak dibutuhkan di luar negeri, melainkan di dalam negeri.
“Bukan melamar sebagai Penerjemah Bahasa dengan jurusan Bahasa semasa perkuliahan atau juga bukan untuk bekerja di luar negeri. Melainkan untuk dapat bekerja di negeri sendiri sesuai dengan kejurusan dan pengetahuan yang Pemohon miliki,” ujar Hanter.
Let uss know your thoughts!
Feature Image Courtesy of ANTARA FOTO/Andri Saputra