Bermula untuk membiayai hobi, hingga jadi streetculture dan streetwear Indonesia
Streetwear Indonesia punya sejarah panjang. Kisah street culture ini merentang jauh sebelum industri fashion tanah air bernilai ratusan miliar, juga sebelum media sosial beredar.
Sama seperti street culture di Amerika Serikat, Jepang, atau negara lain di dunia, subkultur ini bermula dari komunitas kecil. Tepatnya dari sekelompok pemuda yang hobi skate berselancar dengan semangat DIY.
Kini, kelompok kecil tersebut pun dikenal sebagai pionir streetwear Indonesia yang bernama UNKL347.
Baca juga: Rockstar Games Bikin Label Rekaman CircoLoco Records
UNKL347, ikan nelayan dan kardus kulkas
Sejarah UNKL347 merentang lebih dari dua dekade.
Menurut Dendy Darman, salah satu founder UNKL347, pada awalnya ia membuat baju hanya karena untuk membiayai hobi berselancar yang memang tak murah. Hal ini pun diamini oleh Eddi Brokoli yang turut menyaksikan awal mula clothing line asal Bandung tersebut.
“Mereka pengen surfing, modal ke (pantai Batukaras) udah gede. Kadang mereka kesana naik mobil pick-up, kalo perlu bantu dagang ikan dari nelayan supaya uangnya bisa dipake buat makan dan menginap untuk ‘mengejar’ ombak berikutnya,” tutur Eddi Brokoli.
Namun semangat tersebut berbuah positif; awalnya mereka hanya membuat 1 t-shirt, hingga akhirnya jadi brand.
Meski begitu, prosesnya tak cepat apalagi mudah. Setahun ditekuni, UNKL347 akhirnya punya store sendiri, lengkap dengan kardus kulkas sebagai fitting room.
Namun UNKL347 nggak sekadar jualan baju. Mereka tau apa yang lakukan lebih besar dari itu.
UNKL347 is staying true to the roots. Uang yang mereka dapatkan, disirkulasikan kembali ke komunitas dan industri kreatif yang membesarkan subkultur ini.
“Makanya cuannya dikit, karena terlalu banyak uangnya dipakai untuk pergerakan hahaha!” pungkas Eddi Brokoli.
“Tapi itu juga yang membuat UNKL347 bertahan selama 25 tahun, karena mereka tahu betul ‘kompor’ apa yang mereka harus jaga untuk tetap nyala.”
Eddi Brokoli juga sempat mempertegas simbiosis mutualisme antara komunitas dengan industri clothing lokal yang membentuk street culture menjadi seperti yang kita kenal sekarang ini.
Berbagai clothing line lahir dari (dan untuk) komunitas; mereka yang lahir dari komunitas musik hadir untuk men-support komunitas musik, mereka yang lahir dari skena BMX hadir dari komunitas musik, begitu seterusnya.
“Mereka nggak akan bisa jalan sendiri tanpa komunitas. Komunitasnya pun terbantu dengan pemenuhan baju yang mereka gunakan di atas panggung, atau misalnya giveaway untuk fansnya,” tutur Eddi Brokoli.
Komunitas dan street culture pun lebih dari sekadar bisnis; ini tentang menjadi diri sendiri. Setidaknya hal itulah yang diyakini Claude Hutasoit dari Senayan Skate.
“Street culture, entah itu musik, skateboard atau apapun itu pada zamannya adalah outsiders atau outcasts. Kita pengen jadi diri sendiri,” pungkas Claude.
“It’s all about being you; menjadi diri lo sendiri. It’s not about being accepted. Who cares about being accepted?“
Baca juga: Converse Dituding Curi Desain (Calon) Anak Magang
Sejarah streetwear Indonesia, fokus episode pertama serial The Waves
Semangat youth culture yang direpresentasikan UNKL347 jadi pemicu untuk generasi selanjutnya; menciptakan gelombang dan efek domino yang terus berdampak hingga hari ini.
Untuk tau kisah selengkapnya, simak penuturan Dendy Darman, Eddi Brokoli dan Claude Hutasoit di serial The Waves, premiering on Vision+ tanggal 28 Mei 2021.