Arswendo Atmowiloto meninggal pada hari Jumat 19 Juli 2019 lalu. Beliau adalah seorang sastrawan, seniman, dan juga budayawan yang cukup berpengaruh di Indonesia ini menghembuskan nafas terakhir di usia 70 tahun. Dikabarkan Arswendo meninggal dunia krena kanker prostat yang dialaminya.
Latar Belakang
Beliau lahir dengan nama Sarwendo di Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 26 November 1948. Ia mengganti nama depannya menjadi Arswendo dan menambahkan nama bapaknya, Atmowiloto, di belakang. Setelah measa SMA, Arswendo kuliah di IKIP Solo untuk mengambil studi bahasa dan sastra, sayangnya ia tidak menamatkan kuliahnya. Pada tahun 1979, ia memiliki kesempatan utuk mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa.
Karir & Kontroversi
Hidup Arswendo tidak semudah yang dikira, setelah memutuskan untuk berhenti kuliah ia sempat bekerja dipabrik susu, bihun, hingga ball boy. Namun, cintanya terhadap sastra tidak terhenti begitu saja, pada tahun 1971, ia menerbitkan debut cerita pendeknya yang berjudul Sleko di majalah Bahari. Passion-nya yang tidak pernah putus mengatarnya menjadi pemimpin bengkel sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah di Solo pada tahun 1972.
Pada tahun 1970-an, Arswendo menulis Keluarga Cemara, yang menceritakan bagaimana keluarga kecil yang jauh dari kata berkecukupan dapat survive untuk hidupnya sehari-hari. Cerita ini akhirnya diadaptasi menjadi sinetron dan film.
Pada tahun 1980-an, Arswendo menulis novel yang diadaptasi dari film Serangan Fajar. Tahun 1986, Arswendo menjadi pemimpin redaksi majalah Monitor. Tahun 1988, ia bergabung dengan dewan redaksi majalah Senang. Kemudian Arswendo melakukan manuver yang cukup berani untuk mengubah Monitor yang awalnya adalah surat kabar menjadi tabloid yang membahas soal film, televisi, dan hiburan. Tempo menyebut Arswendo sebagai “penulis Indonesia yang paling produktif.
Kontroversi yang dituai oleh Arswendo juga cukup banyak, namun yang menjadi highlight adalah saat ia masih di Tabloid Monitor. Pada tanggal 15 Oktober 1990 Monitor merilis tabel nama berjudul “Ini Dia: 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca”. Dari 50 tokoh yang ada dalam daftar itu, Arswendo menempati peringkat ke-10, di atas Nabi Muhammad (ke-11). Tentu hal itu membuat geram beberapa kelompok dan pemuka agama pada saat itu.
26 Oktober 1990 Arswendo resmi ditahan polisi selama 5 tahun penjara dengan tuduhan melakukan subversi. Persidangan Arswendo menjadi salah satu persidangan yang paling ketat pengamanannya dalam sejarah Indonesia. Tempo menulis sekitar 1.000 personel dikerahkan untuk mengamankan jalannya sidang.
Di dalam penjara pun Arswendo tidak berhenti menulis, Menghitung Hari adalah salah satu tulisannya di dalam penjara yang sangat berprestasi. Diterbitkan pada tahun 1993, Menghitung Hari diangkat menjadi sinetron di SCTV yang kelak memenangi penghargaan film terbaik di Festival Sinetron Indonesia 1995.
–
Rest in peace Arswendo Atmowiloto.