Industri Fast Fashion mengalami penurunan drastis yang dialami beberapa tahun kemarin Maekan pada artikelnya menyampaikan bahwa ritel fast fashion raksasa seperti Zara maupun H&M tidak mencapai target penjualan. Ditambah lagi Marie Kondo mengompori untuk mulai memilih pakaian mana yang dianggap masih memiliki unsur “spark joy“. “Spark joy” sendiri adalah istilah yang digunakan Marie Kondo untuk menentukan apakah pakaian yang akan diagunakan memberikan kesenangan pada diri sendiri. Kemudian muncul lah istilah Marie Kondo’s effect yang menganjurkan untuk membuang atau menjual barang yang sudah tidak dipakai atau tidak memberikan “spark joy” pada pemiliknya.
Ia berkata “…the best way to choose what to keep and what to throw away is to take each item in one’s hand and ask: “Does this spark joy?” If it does, keep it. If not, dispose of it.”
Akibatnya bisnis thrifting, second hand store, atau pre-loved menjadi sangat diminati. Second hand store pun menjadi salah satu tempat alternatif untuk membeli barang so called branded atau orang yang memiliki sikap “apa pun mereknya yang penting keren dan murah”, secara tidak langsung membuat penjualan fast fashion melemah.
Mengapa begitu? Kalau dipikir lebih rasional industri fast fashion memproduksi barang secara masif dan cepat karena harus mengikuti trend yang sedang berjalan. Oleh karena itu sebagian dari ritel besar ini menggunakan bahan material yang sebenarnya nggak bagus-bagus amat ditambah lagi barang yang dibeli adalah barang sejuta umat.
Tentu anak muda yang ingin edgy dan beda dari yang lain beralih untuk berbelanja di second hand store. Tidak hanya itu, thrifting juga memberikan kesenangan sendiri jika menemukan barang-barang langka dengan harga yang lebih murah. Namun, dibutuhkan ketelitian, brand knowledge, dan juga keahlian tawar menawar saat melakukan thrifting. Dalam kasus ini Efek Marie Kondo benar-benar menguntungkan baik si penjual maupun pembeli.
Industri fast fashion juga mengalami banyak masalah dalam praktik perburuhan hingga turut serta dalam pencemaran lingkungan. Sebagai contoh ketika membuat sebuah kaos berbahan katun, setidaknya dibutuhkan sekitar 2.700 liter air dan turut serta pula dalam mencemarinya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Boston Consulting Group, pada tahun2015 industri mode menghabiskan 79 miliar meter kubik air, melepaskan 1,715 juta ton CO2, dan memproduksi 92 juta ton sampah.
Industri inu juga mengalami kerugian beberapa tahun terakhir, contohnya seperti H&M yang memiliki stock baju tidak terjual yang jika ditotalkan mencapai 4.3 Billion USD. Perusahaan mengatakan laba operasi meturun hingga 62% dalam tiga bulan, sehingga memaksakan brand ini mengirimkan sahamnya ke harga penutupan terendah sejak 2005 lalu di bursa saham Stockholm. Oleh karena itu, masuk akal jika industri ini menurunkan kualitas materialnya demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar,
Tidak hanya second hand store, kompetitor dari industri fast fashion juga datang dari slow fashion yang mementingkan kualitas dan keintiman saat melakukan produksi. Kelemahannya mungkin harga yang sangat mahal, namun harga itu tidak sebanding dengan prestise, kualitas, dan eksklusifitas yang didapat saat memakainya.
Yang menjadi pertanyaan adalah Berapa lama industri fast fashion akan bertahan? We’ll see.