Dibuat ketika semangat masa muda masih membara, pelan-pelan kandas digerus kenyataan dunia dewasa, lalu kembali lagi. Inilah cerita The Pains of Being Pure at Heart, indie pop darling asli New York City.
6 tahun lalu, Kip Berman (vokal+gitaris) mengumumkan bubarnya PAINS—panggilan sayangnya untuk band ini. Kembalinya band ini—dengan semua OG members!—pada 16 Agustus 2024 adalah surprise yang tak terduga.
Kami berkesempatan ngobrol dengan Kip seminggu sebelum PAINS tampil di Joyland; dari reuni, apa arti menjadi ‘being pure at heart’ untuknya sekarang, dan apa benang merah yang menyatukan pendengar PAINS Jakarta dengan Brooklyn.
Gimana rasanya bubar terus balik lagi?
Reuni ini bisa terjadi karena alasan yang sama kenapa kami sempat mundur. Setelah anak-anakku lahir tahun 2016 dan 2018, aku milih fokus ngerawat mereka. Aku ngerasa saat itu aku gak punya kemampuan dan interest buat ngelakuin hal lain.
Aku bener-bener beruntung semua personil PAINS adalah orang-orang yang kukenal dari dulu. Aku seneng Peggy, Alex, dan Kurt balik lagi, terus ada Christoph yang masih ada sampai sekarang. Aku juga bersyukur sama temen-temen yang main bareng beberapa tahun terakhir—terutama Jen Goma yang vokalnya membentuk beberapa lagu favoritku di periode PAINS selanjutnya.
Kalian baru aja ngerilis Perfect Right Now: A Slumberland Collection 2008-2010. Apa alasannya?
Kami ngumpulin semua rilis dari era itu supaya orang nggak usah buang duit buat beli rilisan deluxe mahal. Toh rilisan ini cuma nyatuin single non-album kaya Kurt’s Cobain’s Cardigan dan Say No to Love, b-sides, dan EP Higher Than the Stars biar orang nggak perlu lagi nyari versi yang udah out of print atau harganya nggak masuk akal.
Kamu lanjut nge-gig dengan The Natvral setelah PAINS bubar. Kenapa?
Aku ngerasa orang cuma kepengen aku menyanyikan lagu tentang “remaja-remaja aneh yang siap mati di usia 19” melulu. Tapi aku gak mau bikin lagu kaya gitu lagi. Makanya aku bikin The Natvral, aku pengen bikin musik modal gitar dan suaraku aja.
Di sini aku jadi punya ruang buat menyampaikan apa yang bener-bener pengen aku ungkapkan. Aku ngerasa gak perlu ada ekspektasi buat terus-terusan terjebak dalam “perpetual teenage ennui”.
Apakah The Natvral ngubah caramu dalam ngeliat PAINS?
Aku dulu sempet mikir PAINS nggak cukup oke, tapi sekarang aku gak kebayang bikin Everything With You atau Come Saturday jadi beda. Lagunya emang begitu adanya. Tiap aku bawain itu, rasanya ada euforia yang ngehantam dari segala arah. Maaf kalau kedengerannya aneh, tapi ngomongin feeling soal lagu tuh emang susah.
Kip Berman soal benang merah yang menyatukan anak muda Brooklyn dan Jakarta
Yang bikin aku kagum adalah manusia sekarang, walau terpisah jarak, waktu, bahasa, dan bahkan budaya bisa relate dengan satu sama lain.
Makanya menarik ketika seorang anak yang lahir dari single mom di sebuah negara bagian random di Midwest, Amerika Serikat bisa nulis lagu bareng teman-temannya lalu didengar dan dianggap penting sama seseorang yang lahir 8.000 mil jauhnya—padahal bahasa dan kulturnya beda banget. Ini juga berlaku buatku, beberapa band favoritku asalnya dari Indonesia.
Ternyata penderitaan, keinginan, pertemanan, kekecewaan, kemenangan, sampai keterbatasan hidup yang nggak terelakkan ternyata pengalaman universal.
Siapa inspirasi bermusikmu?
Kami ngerasa band-band dari negara dan budaya yang nggak nyambung sama hidup kami kaya The Pastels, Orange Juice, Jonathan Richman, My Bloody Valentine, Heavenly, Black Tambourine, dan The Velvet Underground bisa bikin lagu yang kerasa lebih relevan daripada musisi di era kami sendiri.
Jadi kalau ada anak-anak muda yang nemuin dan doyan musik kami, berarti jadi giliran kami buat jadi band dari era lalu yang entah gimana caranya relatable buat generasi sekarang.
Ada gak sih territory yang belum dieksplor?
Pada dasarnya aku berusaha bikin lagu bagus, walau gak semuanya kedengeran enak.
A good song is a good song, kamu bakal tau pas telingamu dengar itu. Aku gak percaya bikin lagu makin ruwet bikin lagunya kedengeran bagus. Aku paling gak suka genre “5 orang mulai dan berhenti di waktu random buat bikin mereka keliatan dan merasa oke”. Makanya aku seringnya main D chord dan nyanyi soal apa yang aku rasain.
Kip Berman soal perasaannya dengan PAINS dulu
Pas aku main sama temen-temen deketku dulu, aku nggak pernah bisa bermain dengan lepas. Takut musiknya jadi jelek karena aku gampang ngerasa puas sama apa yang kami kerjain. Bukannya aku haus kesuksesan, aku sebenernya nggak mau kehilangan kesempatan buat bikin lagu yang kusuka dan mainin lagunya ke orang-orang.
Memang kedengaran childish dan paranoid, tapi sampai sekarang pun aku ngerasa ini logis. Sayangnya, mindset ini bikin aku ngejauh dari bandmates dan juga temen-temenku.
Mungkin pengalamanku jadi ayah sekarang bikin aku sadar bahwa manusia butuh kasih sayang dan kehangatan. Hidup udah penuh dengan penderitaan, jadi kita harus ambil dan nikmati kebahagiaan selagi bisa.
Kip Berman soal arti dari ‘being pure at heart’ di tahun 2025
‘Being pure at heart’ tuh jadi semacam pengingat soal realitas hidup sebagai manusia, dengan segala sifat negatif dan vulgar seperti perasaan iri, ngeremehin, dan masih banyak lagi. Kita menikmati kekacauan dunia ini, tapi juga ngidam sesuatu yang kayanya nggak akan pernah bisa kita dapet.
PAINS pernah manggung di Indonesia tahun 2012. Gimana rasanya balik lagi ke sini setelah 13 tahun?
Dari awal kami nge-band dan posting lagu-lagu pertama ke MySpace, kami dapat banyak banget support dari fans Indonesia. Ini jadi tantangan (dan kehormatan) buat nyari cara untuk dateng dan perform ke fans-fans Indonesia yang udah sabar dan antusias nungguin kami. Balik lagi ke Indonesia udah jadi mimpi lama kami dan semoga ini bukan kali terakhir PAINS manggung di sini.
Let uss know your thoughts!
