Bermula dari Tri Suaka & Zinidin Zidan dengan Kangen Band, hingga jadi diskusi di media sosial
Kalo lo menghabiskan cukup waktu di media sosial beberapa waktu belakangan, lo pasti udah nggak asing dengan isu cover lagu yang bersirkulasi di media sosial.
Isu ini bermula dari drama antara Tri Suaka dan Zinidin Zidan dengan Kangen Band, yang kemudian berkembang jadi pembahasan tentang lisensi musik.
Maklum, Tri Suaka dan Zinidin Zidan memang dikenal sebagai musisi yang kerap membuat cover lagu milik musisi lain. Tak lama setelah mereka memparodikan gaya bermusik Kangen Band, banyak orang nyinyir karena mempermasalahkan nihilnya lagu orisinil dari kedua musisi tersebut.
Lantas, gimana sih ketentuan cover musik di Indonesia? Apakah sudah diatur dalam hukum Indonesia?
Baca juga: The Future of Us Siap Digelar, Jadi Saluran Seniman dan Kreator untuk Masuk ke Ranah Digitalisme
Aturan hukum cover lagu
Mengacu pada Wikipedia, pengertian meng-cover lagu adalah rekaman atau penampilan baru dari lagu yang sebelumya pernah dirilis secara komersial.
Banyak orang nggak tau, sebenarnya bikin cover musik milik orang lain sebenarnya punya ketentuan khusus dan udah punya payung hukum.
Saat ini urusan pembayaran royalti ditangani oleh Wahana Musik Indonesia (WAMI). Lembaga manajemen kolektif tersebut mengelola eksploitasi karya cipta lagu terutama untuk royalti Hak Mengumumkan (Performing Rights).
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Hak Cipta (“UUHC”) Nomor 28 Tahun 2014, Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 4 UUHC, hak eksklusif adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Di dalam Hak Cipta melekat hak eksklusif yang terdiri dari hak moral dan hak ekonomi.
“Cover lagu orang itu harus ada izinnya. Soalnya kan mereka yang bikin cover biasanya dapet keuntungan juga, misal lewat YouTube atau di festival musik” ujar Hary Kace, anggota WAMI yang menangani licensing musik di gelaran konser.
“(cover lagu) umpanya kayak pake barang orang. Masa lo nggak minta izin?”
Situs resmi WAMI juga sudah mencantumkan sejumlah perhitungan pemungutan royalti atau hak mengumumkan.
Perhitungan tersebut mencakup pemungutan royalti untuk konser, hotel, cafe, pusat perbelanjaan, bioskop, rumah karaoke, ring back tone (RBT), ringtone & website, TV & stasiun Radio, layanan transportasi dan taman rekreasi.
Sebagai contoh, perhitungan royalti di konser musik berbayar adalah (hasil kotor penjualan tiket x 2%) + (tiket gratis x 1%), sementara untuk konser musik gratis adalah biaya produksi pertunjukan musik x 2%.
Sementara itu, perhitungan royalti untuk televisi terestrial dan berbasis internet (streaming) adalah (0,60% x jumlah pendapatan iklan tahun sebelumnya)/tahun(2019), dikutip dari situs resmi WAMI.
Baca juga: Hari Raya Lebaran: Emang Mesti Banget Beli Baju Baru?
Etikanya bikin cover lagu
“Kalo proses yang benar adalah lo bisa minta izin langsung sama penciptanya atau minta izin lewat perwakilan publising sang pencipta lagu,” jelas Hary Kace ketika ditanya soal etika bikin cover lagu.
“Sebenarnya Indonesia punya payung hukum yang kuat untuk mencakup urusan cover lagu. Cuma karena sosialisasinya kurang dan kesadaran pelaku cover lagu juga masih kurang, jadi banyak yang nggak tau.”
Meski begitu, Hary tidak menampik soal adanya ambiguitas soal ketentuan cover lagu.
Pasalnya ada beberapa kasus dimana seorang penyanyi membuat cover lagu orang yang akhirnya mendapat sanksi dari pihak publishing yang mewakili pencipta lagu. Namun ada pula yang aman-aman aja tanpa menerima ganjaran apapun.
Your thoughts? Let us know in the comments below!