Penggunaan kata-kata yang merujuk pada hewan sebagai makian telah menjadi fenomena yang umum dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Kata-kata seperti anjing, babi, atau monyet sering muncul dalam percakapan yang bernada marah atau merendahkan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan, “Mengapa hewan, yang merupakan bagian dari alam dan ciptaan Tuhan, justru digunakan sebagai simbol penghinaan?”
Fenomena ini menarik untuk dikaji karena mencerminkan bagaimana masyarakat memaknai kata, membentuk metafora, dan menyusun hierarki melalui bahasa. Analisis terhadap penggunaan bahasa tersebut dapat memberikan pemahaman lebih dalam tentang konstruksi budaya dan dinamika sosial di baliknya.
Makna Denotatif dan Konotatif Kata-Kata yang Merujuk pada Hewan
Terdapat kata-kata yang memiliki makna denotasi (harfiah) dan konotasi (asosiatif). Kata-kata yang merujuk pada hewan umumnya bersifat netral dalam makna denotatif. Sebagai contoh, kata anjing secara literal merujuk pada binatang dari spesies Canis lupus familiaris. Namun, makna konotatif kata tersebut dapat berubah sesuai dengan konstruksi budaya. Dalam konteks tertentu, kata anjing dapat digunakan sebagai penghinaan yang menggambarkan perilaku tidak bermoral, tidak sopan, atau hina.
Metafora memiliki peran besar dalam transformasi makna ini. Bahasa manusia sering menggunakan hewan sebagai simbol sifat-sifat tertentu yang diasosiasikan dengan perilaku manusia. Berikut beberapa contohnya:
- Babi dianggap sebagai simbol kekotoran atau kerakusan.
- Monyet sering digunakan untuk menggambarkan perilaku bodoh atau lucu yang kurang serius.
- Anjing kerap diasosiasikan dengan sifat agresif atau tidak setia.
Kontekstualisasi Nilai Budaya dalam Makna Kata yang Merujuk pada Hewan
Penggunaan kata-kata yang merujuk pada hewan sebagai makian mencerminkan bias dalam bahasa dan budaya. Manusia sering memosisikan dirinya sebagai makhluk paling unggul, sementara hewan dianggap lebih rendah. Akibatnya, nama hewan kerap digunakan untuk merendahkan orang lain, sekaligus mendiskreditkan hewan itu sendiri.
Secara etis, hal ini patut dipertanyakan. Mengapa manusia perlu menggunakan nama hewan untuk menghina sesama? Bukankah ini mencerminkan kesombongan manusia atas makhluk lain? Refleksi ini membuka ruang untuk menilai kembali hubungan antara bahasa, budaya, dan etika.
Dalam budaya tertentu, hewan tertentu memiliki citra yang lebih negatif daripada di budaya lain. Sebagai contoh, anjing di Indonesia memiliki konotasi negatif karena hewan ini dianggap najis dalam ajaran agama tertentu. Namun, di budaya Barat, kata ini jarang digunakan sebagai makian dan malah sering memiliki asosiasi positif, seperti man’s best friend.
Dalam bahasa lain, pola makian yang serupa juga terjadi, tetapi dengan hewan yang berbeda. Misalnya, dalam bahasa Arab, istilah seperti kelinci (arnab) atau kambing (ghannam) dapat digunakan untuk menyebut seseorang yang dianggap pengecut atau dungu.
Di balik banyaknya kata-kata bernuansa negatif yang merujuk pada hewan, terdapat juga kata yang membawa konotasi positif. Misalnya, elang atau singa sering diasosiasikan dengan keberanian atau keagungan. Ini menunjukkan bahwa konotasi yang dilekatkan pada hewan sangat kontekstual dan bergantung pada nilai-nilai budaya yang mendasarinya.
Penutup
Bahasa adalah cermin peradaban. Ketika kita menggunakan kata-kata yang merujuk pada hewan sebagai makian, kita tidak hanya menunjukkan pandangan merendahkan terhadap hewan, tetapi juga mengungkap kecenderungan manusia untuk menjadikan bahasa sebagai alat penghinaan. Refleksi terhadap pola ini dapat membantu kita tidak hanya memperbaiki cara berbicara, tetapi juga meningkatkan penghargaan terhadap makhluk hidup lainnya.
Dalam dunia yang semakin menyadari pentingnya harmoni antara manusia dan alam, sudah saatnya kita memilih kata-kata yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luhur. Bahasa, pada akhirnya, adalah refleksi dari jiwa kolektif kita. Tugas kita adalah memastikan bahwa bahasa yang kita gunakan mencerminkan nilai-nilai yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang.
Daftar Pustaka
Aldi, Agan. (2023). Mengungkap Latar Belakang Penggunaan Hewan Anjing,
Babi, dan Monyet sebagai Makian. Diakses pada 21 November 2024, dari https://depok.inews.id/read/339074/mengungkap-latar-belakang-penggunaan-hewan-anjing-babi-dan-monyet-sebagai-makian
Haslam, Nick. (2019). Kami Bukan Monyet, Ahli Jelaskan Alasan Panggilan
Hewan Itu Menghina. Diakses pada 21 November 2024, dari
https://kmp.im/app6https://sains.kompas.com/read/2019/08/20/104617123/
Kami-bukan-monyet-ahli-jelaskan-alasan-panggilan-hewan-itu-menghina?
Sitanggang, N. P., Sukma, B. P., Sanubarianto, S. T., & Walangarei, S. F. (2024).
Derajat Ilokusi Kebencian Nama Hewan dalam Bahasa Indonesia. Linguistik Indonesia, 42(2), 353-371.