Novel Sabda Armandio ‘24 Jam Bersama Gaspar’ diadaptasi ke film
Netflix Indonesia segera merilis film 24 Jam Bersama Gaspar yang diadaptasi dari sebuah novel karya Sabda Armandio dengan judul yang sama.
Film bergenre drama neo-noir dystopian ini disutradarai oleh Yosep Anggi Noen.
Emang genre neo-noir tuh apa sih?
Berdasarkan buku Robert Arnett (Fall 2006), “neo-noir menjadi hal yang begitu tidak jelas bentuknya sebagai genre/movement, karena setiap film yang menampilkan seorang detektif atau kejahatan memenuhi syarat untuk disebut sebagai neo-noir.”
Meski neo-noir bukan jenis genre yang banyak dipilih sineas Indonesia, namun Anggi Noen selaku sutradara, Angga Dwimas Sasongko selaku eksekutif produser, beserta Christian Imanuell dan Yulia Evina Bhara selaku produser dari Visinema Pictures dan KawanKawan Media yakin memilih novel 24 Jam Bersama Gaspar untuk diadaptasi menjadi sebuah film.
Gambaran distopia Jakarta yang dimunculkan dalam film
Anggi mencoba memvisualisasikan dunia buatan Sabda dalam novel, melalui elemen-elemen yang memunculkan sense of dystopian dari Kota Jakarta.
Seperti misalnya sebuah adegan yang menunjukkan adanya pengawasan ketat dan kesan otoriter dari pemerintah terhadap masyarakat.
Sense of surveilance yang muncul sedikit mengingatkan dengan film distopia hasil adaptasi novel karya George Orwell, 1984.
Kerusuhan dan keonaran terjadi hampir di setiap sudut jalan akibat kemiskinan dan kelaparan.
Dalam film 24 Jam Bersama Gaspar penyebutan “daerah” adalah “distrik” dan hampir di setiap distrik terdapat bangunan kosong atau gedung yang mangkrak.
Masa depan Jakarta tapi lewat POV dystopian
Anggi memvisualisasikan keadaan distopia Jakarta dalam beberapa tahun ke depan, lewat elemen-elemen yang seirama dengan prediksi hasil analisa para ahli soal Jakarta dan Indonesia di masa depan.
Seperti misalnya penggambaran kota yang dipenuhi dengan kabut asap polutan.
Efek yang ditimbulkan adalah jarak pandang lebih pendek dan langit yang lebih gelap.
Banyak penduduk yang menggunakan Masker Gas Respirator saat bepergian.
Kota-kotapun divisualisasikan terkepung oleh air dan bensin menjadi komoditas yang tidak mudah untuk didapatkan.
Ongkos produksi yang diprediksi ga kaleng-kaleng
Semarang dipilih menjadi lokasi syuting yang paling mendekati gambaran distopia Jakarta di masa depan.
“Kami (Anggi dan Irfan Ramli) pergi ke sebuah tempat yang kira-kira bisa menjadi semacam perwakilan visualisasi Jakarta distopia, dan tempat yang dipilih adalah Semarang,” kata Yosep Anggi Noen dalam acara konferensi pers terbatas di Senayan, Jakarta Pusat pada Jumat, 8 Maret 2024 lalu.
Survey lokasi syuting sudah dilakukan dari jauh hari sebelum penyusunan skenario dan dilakukan dalam waktu yang cukup panjang.
Pemvisualisasian dystopian yang cukup detil dan banyaknya adegan action yang dilakukan dalam 24 Jam Bersama Gaspar, disebut menjadikannya masuk dalam kategori film dengan budget produksi yang ga kaleng-kaleng!
“Merealisasikan visi artistik dan tercapai. Ada banyak hal yang belum pernah dilakukan dan sudah dilakukan sekarang di film ini,” ujar produser KawanKawan Media Yulia Evina Bhara saat menjawab pertanyaan soal budget produksi.
Cerita detektif yang bakal mati dalam 24 jam tapi dia mau balas dendam dulu
Film drama neo-noir dystopia ini menceritakan kehidupan seorang detektif ganteng bernama Gaspar yang divonis dokter bakal mati dalam 24 jam ke depan.
Dalam sisa waktu hidupnya tersebut penonton akan dibawa berpetualang dengan agenda balas dendam oleh Gaspar dan komplotannya.
Gaspar bersama lima orang lain merencanakan perampokan sebuah toko emas tua yang jelek dalam sisa waktu hidup ia punya.
Aktor dan aktris seperti Reza Rahadian, Shenina Cinnamon, Laura Basuki, Kristo Immanuel,
Sal Priadi, Iswadi Pratama, Ali Fikry, Shofia Shireen, dan Alleyra Fakhira dipilih untuk berperan dalam film adaptasi ini.
Film 24 Jam Bersama Gaspar akan segera tayang di Netflix pada 14 Maret 2024.
—
Let uss know your thoughts!
Bibliografi
Arnett, Robert (Fall 2006). “Eighties Noir: The Dissenting Voice in Reagan’s America”. Journal of Popular Film and Television. 34 (3): 123–129.
————-