Bukan Cuma Mixue
Kalau diliat-liat, banyak banget franchise atau usaha waralaba luar negeri yang sukses di Indonesia. Nggak cuma Mixue, banyak banget brand kayak McDonald’s, Pizza Hut, Domino’s, KFC, Baskin Robbins, A&W, Papa John’s, dll yang menjamur di setiap kota.
Ini baru di ranah Food & Beverage (F&B). Masih banyak contoh lain kayak Ace Hardware yang jualan barang ritel, The Body Shop buat kosmetik dan perawatan badan, Kumon di ranah pendidikan, sampe Lawson yang merupakan toko kelontong dari Jepang.
Kok bisa ya mereka sukses di Indonesia?
Glocalization
Istilah glocalization pertama muncul di Harvard Business Review tahun 80-an. Istilah ini berasal dari dua kata yaitu “globalization” dan “localization”. Berdasarkan jurnal Glocalization: A Critical Introduction, hal ini merujuk ke bisnis waralaba yang diciptakan secara besar-besaran tapi bisa nyesuaiin bentuk ke target pasar di tiap daerah.
Bahkan, dari dua kata pembentuknya aja hal ini udah lumayan kontradiktif. Gimana coba caranya jadi lokal dan global di saat yang sama?
Ini bakal lebih masuk akal kalau misal internet udah lazim karena studi bisa dilakuin secepet mungkin. Faktanya, franchise gede yang udah disebut sebelumnya kebanyakan udah pada ada sebelum internet ramah pengguna. Bayangin seberapa gede usaha yang dikasih di tahap riset produk.
Nggak Ngehapus Nilai Lokal
Menurut Khondker (2005), ada beberapa hal yang jadi alesan kenapa konsep glocalization ini menarik buat khalayak:
- Keberagaman itu esensi kehidupan sosial. Apalagi di indonesia, semboyannya aja sudah “Bhinneka Tunggal Ika”.
- Keunikan jadi hal yang disukai orang-orang.
- Ada ketakutan kalau globalization bakal ngehapus perbedaan yang ada. Cenderung bikin dunia ini seragam.
Hal ini pula yang diterapin sama franchisei dari luar negeri. Contohnya kayak McDonald’s yang selalu inovasi bikin menu-menu spesial yang ada sentuhan lokalnya. Rendang, nasi uduk, bahkan, ada menu nasi juga udah jadi penyesuaian karena di negara asalnya nggak ada menu nasi.
Pola Konsumsi Warga Indonesia
Buat alesan lainnya, sebagaimana diketahui, warga Indonesia bisa dibilang lumayan konsumtif. Berdasarkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), indonesia ada di peringkat 3 dunia pada tahun 2022. Indeks ini dihitung berdasarkan prospek lapangan kerja, kondisi finansial, dan keinginan berbelanja dalam 12 bulan ke depan.
Bahkan, selama pandemi yang kejadian justru panic buying dan konsumsi rumah tangga juga meningkat. Selain itu, setiap ada hal baru kayaknya selalu ada tekanan sosial yang bikin orang ikut nyoba. Fear of Missing Out (FOMO) ini juga jadi salah satu alesan kenapa franchise luar negeri bisa sukses di sini.
Gimana menurut kalian?