Be an ally!

Beberapa waktu belakangan, linimasa dipenuhi dengan kabar insiden kekerasan seksual di berbagai tempat.

Yang bikin tambah resah adalah pelakunya yang kerap kali harusnya melindungi korban seperti guru, polisi, bahkan keluarga sendiri. Nggak cuma itu, berbagai tanggapan yang bersirkulasi di jagat maya juga kerap nggak solutif, bahkan terkesan victim blaming.

Untuk itu, USS Feed merangkum beberapa hal terkait isu kekerasan seksual yang mesti lo tau!


Apa itu kekerasan seksual?

Menurut naskah Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Komnas Perempuan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.

Komnas perempuan juga telah membagi aksi kekerasan seksual menjadi 15 jenis.

Lima belas jenis tersebut adalah perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan kehamilan, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi bernuansa seksual, kontrol seksual dan praktik tradisi yang membahayakan perempuan.

Jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat

Laporan kasus kekerasan seksual meningkat selama beberapa tahun terakhir, khususnya selama pandemi covid-19.

Pada periode Januari-Juli 2021, Komnas perempuan mencatat 2.500 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka itu melampaui total kasus di tahun 2020 yang mencapai 2.400 kasus.

Padahal, total kasus pada tahun 2020 sudah menikat cukup drastis; lebih tinggi 68 persen di banding tahun 2019.

Kekerasan seksual tidak cuma terjadi pada perempuan

Bukan hanya terjadi pada perempuan, isu yang satu ini juga menimpa kaum adam.

Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID Tahun 2020 ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.

Berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa korban kasus ini didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku adalah laki-laki. Namun tak dapat dimungkiri pula bahwa laki-laki juga bisa jadi korban.

Sayangnya, perlindungan hukum Indonesia bagi korban laki-laki masih terbilang minim.

Penafsiran yang tertuang pada Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan rumusan Pasal 286 hingga 288 KUHP mempersempit definisi korban perkosaan sebagai seorang “perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan.”

Kenapa korban enggan melapor?

Bak fenomena gunung es, masih banyak kasus kekerasan seksual yang belum mencuat ke permukaan. Pasalnya para korban banyak yang enggan melaporkan isu ini.

Salah satu penyebabnya adalah faktor persepsi publik yang kerap menghakimi para korban.

Berdasarkan laporan studi kuantitatif barometer kesetaraan gender, sebanyak 57,3 persen korban memilih untuk tidak melapor.

Sebagian besar karena takut dan malu, sementara lainnya tidak tahu harus melapor kemana dan merasa bersalah.

(Infografis: IJRS)

Gimana cara kira mendukung korban?

  1. Jadi pendengar yang baik: jaga emosi tetap stabil hingga korban selesai bercerita.
  2. Ajak korban melapor dan konsultasi; berikan pendampingan korban untuk melaporkan aksi perundungan ke pihak berwenang dan bantu korban untuk mencari pertolongan ke psikiater atau psikolog klinis.
  3. Bantu cari solusi; pikirkan solusi satu persatu dan eksekusi tahap demi tahap. Hindari victim blaming.