Teror Kepala Babi: Ancaman untuk Jurnalisme?
Sebuah kiriman tak biasa tiba di Kantor Tempo pada Rabu, 19 Maret 2025. Bukan dokumen atau paket biasa, melainkan kepala babi! Paket ini secara spesifik ditujukan kepada Francisca Christy Rosana, jurnalis politik dan host siniar Bocor Alus Politik. Pimpinan Redaksi Tempo, Setri Yasra, mencurigai pengiriman ini sebagai upaya teror terhadap kebebasan pers.
“Kami mencurigai ini sebagai upaya teror dan melakukan langkah-langkah yang menghambat kerja jurnalistik,” kata Setri.
Setelah insiden ini, dukungan dari berbagai elemen masyarakat mulai berdatangan, menegaskan bahwa serangan terhadap kebebasan pers bukan sesuatu yang bisa ditoleransi.
Solidaritas Masyarakat: “Teror Seperti Ini Hanya Dilakukan oleh Para Penakut”
Sebanyak 43 tokoh dari berbagai bidang—pengacara, akademisi, pegiat HAM, dan wartawan—menyatakan sikap tegas terhadap aksi teror ini. Mereka mendukung penuh Tempo dan mengecam upaya intimidasi yang terjadi.
Dalam pernyataan sikapnya, mereka menegaskan bahwa tujuan utama teror adalah menebarkan rasa takut agar jurnalis berhenti mengungkap fakta. “Sejak perusakan kendaraan pribadi hingga kepala babi, kita bisa melihat ada peningkatan bentuk intimidasi,” bunyi pernyataan yang dirilis pada Kamis, 20 Maret 2025.
Lebih lanjut, masyarakat sipil menyebut bahwa tindakan seperti ini biasanya dilakukan oleh pihak yang tidak tahan terhadap kritik. “Justru pelaku yang sesungguhnya mengidap rasa takut. Plus, bukan orang yang kreatif dan tidak tahan adu argumentasi,” ujar salah satu pernyataan mereka.
Desakan Konsorsium Jurnalisme Aman: Negara Harus Turun Tangan!
Konsorsium Jurnalisme Aman—yang terdiri dari Yayasan Tifa, Human Rights Working Group (HRWG), dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN)—mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan nyata bagi kebebasan pers di Indonesia.
Oslan Purba, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, menilai bahwa aksi ini bukan sekadar teror biasa, tapi juga cerminan dari kecenderungan negara yang semakin otoriter dan anti-kritik. “Pemerintah harus menjamin kebebasan pers dan keselamatan jurnalis di Indonesia,” kata Oslan dalam keterangannya.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif PPMN, Fransisca Ria Susanti, memperingatkan bahwa jika kasus ini tidak diusut tuntas, kekerasan terhadap jurnalis bisa meningkat lebih jauh.
Media Sosial Bereaksi: “Ini Bukan Kasus Biasa”
Di media sosial, peristiwa ini langsung menjadi sorotan. Banyak yang menyoroti fakta bahwa kepala babi dikirimkan kepada seorang jurnalis perempuan dan Katolik, di hari yang sama dengan pengesahan kebijakan yang dianggap membatasi supremasi sipil di DPR.
“Fasisme dan otoritarianisme selalu dibangun di atas intimidasi, manajemen ketakutan, dan politik gender yang spesifik,” tulis akun @queerimpasse di X (dulu Twitter).
Sementara itu, pengguna lain, @Mythicalforest, mengingatkan bahwa kejadian ini mirip dengan ancaman yang pernah diterima Suciwati, istri almarhum Munir, pada 2004. Kala itu, rumah Suciwati dikirimi bangkai ayam sebagai bentuk teror.
Apakah insiden ini hanya teror biasa, atau ada pesan yang lebih besar di baliknya? Satu hal yang pasti, kebebasan pers di Indonesia sedang diuji, dan respons terhadap kasus ini akan menentukan arah jurnalisme di masa depan.
(Sumber: Tempo)
—
Let us know your thoughts!
-
Pika Sasikirana Meninggal: Perjuangan Anak dengan Cerebral Palsy yang Menuntut Perubahan
-
UU TNI Baru Disahkan DPR, Ada Perubahan 3 Pasal yang Picu Kontroversi
-
Thailand Bakal Kurangi Masa Tinggal Bebas Visa dari 60 Jadi 30 Hari Akibat Bisnis Ilegal