Menyoal tentang kekerasan dan pelecehan seksual, laki-laki tak melulu jadi pelaku
Namanya Ahmad, ia adalah seorang ojek online. Profesi itu sudah ia tekuni sejak tahun 2017, jadi tak heran berbagai jenis penumpang sudah pernah ia layani. Dan tak semuanya jadi pengalaman menyenangkan.
Salah satunya ketika ia mendapatkan order pengantaran paket dari Kemanggisan ke Thamrin. Semua berjalan normal hingga saat ia mengambil barang dari rumah kos-kosan sang pengirim.
Alih-alih langsung berangkat mengantarkan paket, Ahmad diundang masuk ke dalam kamar, bahkan sampai berkali-kali. “Gapapa mas, sepi kok,” tutur perempuan tersebut.
Ahmad yang sudah beristri merasa risih tak sabar untuk lekas pergi. Meski sang pelanggan cukup kukuh meyakinkannya untuk masuk, Ahmad justru bergegas angkat kaki.
Sesampainya di luar, ia mendapati sang customer mengirimkan pesan terakhir lewat aplikasi.
“Yah ditolak, padahal udah sange,” tuturnya.
Yang terjadi pada Ahmad adalah bagian kecil dari fenomena pelecehan seksual terhadap laki-laki, yang memang jarang muncul ke permukaan.
Perkara pelecehan dan kekerasan seksual kerap diidentikkan dengan laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban. Maklum, konsensus umum yang diyakini publik selama ini selalu menempatkan laki-laki sebagai individu kuat yang selalu mampu menjaga diri. Padahal faktanya tak selalu begitu.
Perlu diketahui, perempuan memang lebih rentan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual daripada laki-laki. Berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), 3 dari 5 (64%) perempuan pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Sementara itu, hanya 1 dari 10 (11%) laki-laki yang pernah masalah yang sama. Survei ini dilakukan pada bulan November hingga Desember 2019 dengan melibatkan 62.224 responden.
Bukan sekadar jadi perbandingan, idealnya angka tersebut perlu digarisbawahi, juga dijadikan pengingat bahwa kekerasan sekual bisa terjadi oleh dan kepada siapapun.
Tuntutan maskulinitas dan stigmatisasi masyarakat
Menyoal tentang kekerasan seksual terhadap laki-laki, perihal maskulinitas juga bikin isu ini jadi makin runyam. Stigmatisasi masyarakat dan kebiasaan jelek menyalahkan korban (victim blaming) pun punya andil penting untuk hal yang satu ini.
Sementara argumen victim blaming pelecehan seksual pada perempuan umumnya menyasar pada baju yang korban kenakan, argumen victim blaming pada laki-laki ditujukan pada ketidakberdayaan laki-laki yang menjadi korban, apalagi jika pelakunya adalah perempuan.
“Kok cowok tapi nggak ngelawan?”
“Kok tidak langsung kabur?”
“Jangan-jangan menikmati?”
Maskulinitas laki-laki seringkali tak memberikan ruang buat kaum adam untuk menjadi korban. Alih-alih, menjadi korban justru membuat maskulinitas laki-laki jadi ternodai.
— Yayasan Pulih (@YayasanPulih) June 23, 2020
Selain itu, masyarakat umum juga sulit mencerna kasus pelecehan pada laki-laki. Pasalnya selama ini stigma masyarakat bersirkulasi pada anggapan bahwa ketertarikan seksual dimulai oleh laki-laki; “mana ada laki-laki yang nolak kalo digodain perempuan?”
Hal ini bikin pengaduan laki-laki korban pelecehan seksual jadi tidak dianggap serius. Ada yang meragukan, tak sedikit pula yang justru merespon dengan guyon. Akhirnya para korban pun memilih untuk membungkam diri.
“…In 2006, I attempted suicide. I was in cardiac arrest when they found me. I was three and a half weeks in a coma, and when I came out, I still wouldn’t tell anybody about what happened…what was bothering me.” (Penuturan salah satu korban kekerasan seksual, dikutip dari: Male Survivors of Sexual Abuse and Assault: Their Experiences).
Ibarat ‘sudah jatuh, tertimpa tangga,’ laki-laki korban pelecehan dan kekerasan seksual pun kerap harus menelan pil pahit dua kali; bukan cuma dilecehkan, tapi juga berakhir tanpa solusi.
Laki-laki yang jadi korban
Sama halnya dengan perempuan, kasus pelecehan dan kekerasan seksual tentu juga menyisakan efek emosional dan psikologi yang serius serta berdampak panjang.
Mereka merasa malu dan bersalah. Tak jarang mereka berakhir dengan depresi dan keinginan untuk bunuh diri.
Yang miris, sedikit sekali jumlah LSM atau organisasi yang mengkhususkan diri dalam menangani kasus kekerasan atau pelecehan seksual terhadap laki-laki.
Source: Gifer
Lantas yang setidaknya bisa kita lakukan adalah memperluas ruang aman buat laki untuk membuka diri, dengan cara mendengarkan, memvalidasi perasaan mereka, memberi perhatian secara jelas dan jangan mengorek detail insiden yang mereka alami hanya karena lo pensarasan.
Jika sampai di kalimat ini lo masih membaca, dan lo adalah pria korban pelecehan, please note that there is no shame in seeking professional help.
Kamu seorang laki-laki? Atau sekaligus seorang ayah? Mempunyai masalah dengan rumah tangga? Bisa banget konseling di sini. Kamu akan dipandu buat nemuin jawaban atas permasalahan kamu serta gimana membangun hubungan kamu spy lebih menyenangkan dan tidak diwarnai kekerasan. pic.twitter.com/3Cf4bsAwzK
— Rifka Annisa Women's Crisis Center (@RAWCC) September 28, 2019
Baca juga: Mahasiswa UNS Meninggal Saat Diklat Menwa, Karena Kekerasan?