Satu setengah dekade berlalu sejak bencana semburan lumpur Lapindo muncul pertama kali di Sidoarjo akibat pengeboran minyak PT Lapindo Brantas.
Kini, katastrofe tersebut dapat ‘predikat’ sebagai penyumbang gas metana terbesar di bumi. Hal ini berdasarkan stusi yang terbit di Scientific Reports, 18 Februari 2021.
Mengingat bencana alam yang makin sering terjadi, apakah mungkin ada kaitannya dengan sumbangan dari bencana Lapindo?
Bencana alam yang intensitasnya makin tinggi
Mulai dari banjir, kekeringan, longsor, badai, dan kebakaran hutan meningkat drastis dalam 20 tahun terakhir, melansir Tirto,id.
Sebagian besar bencana yang makin sering terjadi ini merupakan bencana hidrometeorologi. Bencana-bencana semacam itu terpengaruh perubahan curah hujan, kelembapan, temperatur hasil kerusakan lingkungan.
Kalau kita tarik lagi ke asal muasal terjadinya, semua berpangkal di efek rumah kaca. Kalau suhu di muka bumi makin panas, cuaca pun makin tak beraturan.
Alhasil, bencana hidrometeorologi makin sering terjadi. Contohnya, kemarau makin panjang, sementara hujan turun secara singkat dalam intensitas tinggi.
Gas-gas Lumpur Lapindo sebanding emisi gunung berapi
Efek rumah kaca ini makin parah karena gas-gas yang membentuknya, termasuk metana. Buah kelalaian PT Lapindo ini menghasilkan gas-gas berbahaya, ada metana, karbondioksida, nitrogen oksida, dll.
“Lusi (merujuk Lumpur Lapindo di Sidoarjo) memecahkan rekor sejarah gas metana tertinggi dari sebuah situs,” tulis penelitian tadi.
Lumpur Lapindo memang bukan termasuk sumber metana alami murni atau gunung berapi magmatik. Tapi, ternyata bencana ini melepas gas-gas pembentuk efek rumah kaca yang sebanding dengan emisi gunung berapi.
—
Baca juga: