Marilyn Monroe, sex symbol Hollywood berumur 36 tahun, ditemukan tak bernyawa di kasurnya di balik pintu tertutup.
Begitulah tulis berita dari koran tentang kematian Marilyn, keesokan hari setelah kejadian. Kalau kita lihat dari kalimat itu, mungkin sebagian dari kita gak merasa aneh. Tapi, setelah menelusuri lebih dalam headline-headline lainnya, sebagian besar memakai frasa ‘sex symbol‘.
Lalu, jadi muncul pertanyaan: Memangnya kenapa, sih? Walaupun (mungkin) itu mengacu pada personanya sebagai ‘bintang’ atau aktris terkenal, kenapa harus tentang ‘tubuh’-nya duluan yang orang sebut? Dan bahkan bukan talentanya, semangatnya, apalagi pencapaiannya.
Bukan sekedar sex symbol, Marilyn Monroe lebih dari itu
Kalau mengingat nama ‘Marilyn Monroe’, kebanyakan dari kita bakal teringat gambarnya yang memakai gaun halter putih, tertiup angin.
Masyarakat pada zaman itu sering kali mengobjektifikasi dan mengeksploitasi perempuan dalam industri hiburan. Hal ini memisahkan perempuan dari diri sebenarnya. Begitu pula dengan Marilyn, kebanyakan orang hanya melihat ia dengan sebelah mata.
Stereotip tentang ‘cewek pirang bombshell‘ yang seksi terus melekat dalam identitasnya sebagai sorotan masyarakat. Apalagi, perannya dalam film kerap kali menjadi ‘the dumb blonde‘ yang terus menambah stigma buruk.
Kebanyakan orang jadi berpikir bahwa Marilyn Monroe adalah orang yang ‘dangkal’, hanya karena peran yang ia dapatkan. Padahal kenyataannya, ia adalah sosok yang cerdas dan vokal. Ini yang jarang orang soroti tentang dirinya.
Kenyataan tentang sosok Marilyn
Dalam berbagai wawancara, Marilyn Monroe adalah seseorang yang lumayan vokal dalam mengutarakan pemikirannya. Bahkan, ia tidak takut untuk menyuarakan tentang perjuangan yang ia alami selama berada di dunia TV dan perfilman yang kejam.
Tentunya, dunia hiburan mendatangkan banyak kesalahpahaman tentang dirinya. Walau begitu, ia tidak ragu untuk terus berekspresi di mata publik.
Selain itu, Marilyn juga terus berkontribusi untuk gerakan anti rasisme, yang bahkan pada saat itu belum ‘populer’. Ia merupakan salah satu teman baik penyanyi jazz Ella Fitzgerald.
Pada awal karirnya, Fitzgerall sering kali mendapat perlakuan tidak adil hanya karena ia berkulit hitam. Dalam hal ini, Marilyn menggunakan ‘hak istimewa’-nya untuk membantu kawannya tersebut.
Bangga akan seksualitasnya
Walau punya sebutan sex symbol, Marylin kerap kali meng-empower perempuan lain. Pada masa itu, seksualitas perempuan masih dianggap tabu dan ‘menjijikkan’ oleh masyarakat. Namun, sosok Marylin selalu bangga dengan seksualitasnya, dan mendorong agar perempuan bisa melakukan hal yang sama.
Pada akhirnya, yang bisa kita lakukan untuk menjadi masyarakat yang lebih baik adalah dengan mengakui orang sebagai apapun yang ia pilih. Tanpa memandang sebelah mata, apalagi hanya melalui media mainstream yang memberi mereka peran tertentu.
—
“One of the best things that ever happened to me is that I’m a woman. That is the way all females should feel.” – Marilyn Monroe, 1953
Baca juga: