Aksi pawang hujan di Sirkuit Mandalika, Lombok pada Minggu (20 Maret) lalu sukses mencuri perhatian publik.
Bukan hanya masyarakat dalam negeri, melainkan sampai kancah internasional. Namun menariknya, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto menyebut kalau berhentinya hujan bukan karena aksi pawang.
Bukan karena aksi pawang hujan, melainkan …
Meski sempat ada momen hujan reda saat pawang sedang ‘bekerja’ dalam lintasan Sirkuit Mandalika, Guswanto meyakini itu sebagai kebetulan.
Dia menuturkan bahwa hujan berhenti karena memang faktor durasi yang sudah selesai.
The master… #IndonesianGP 🇮🇩 pic.twitter.com/ZUO3rk7RMK
— MotoGP™🏁 (@MotoGP) March 20, 2022
“Dari awal pawang sudah kerja, tapi tidak berhenti juga. Artinya itu jadi sebenarnya kemarin waktu berhenti bukan karena pawang hujan. Tapi karena durasi waktu hujan sudah selesai,” tuturnya.
“Kalau dilihat prakiraan lengkap di tanggal itu memang selesai di jam itu. Kira-kira jam 16.15 itu sudah selesai, tinggal rintik-rintik. Dari situ bisa dilakukan balapan kalau dilihat dari prakiraan nasional analisis dampak yang kita miliki BMKG,” imbuh Guswanto.
Bagian kearifan lokal yang sulit dijelaskan
Guswanto juga menjelaskan bahwa hujan memang bisa diatur dengan teknik modifikasi ujan. Itu berarti mempercepat terjadinya hujan.
Namun hal tersebut baru bisa dilakukan jika terdapat awan hujan.
“Kalau tentang modifikasi cuaca itu adalah teknologi modifikasi cuaca, yang dimaksud itu adalah mempercepat terjadinya hujan. Kan awan itu dalam membuat teknologi modifikasi cuaca itu sarat pertama adalah adanya awan hujan,” ujar Guswanto.
“Kalau tidak ada awan hujan, tidak bisa. Bagaimana ceritanya teknologi modifikasi cuaca itu jadi, pada awan-awan tertentu awan-awan konvektif yang mengandung uap air, itu diberikan inti kondensasi, inti yang berupa ditabur NaCL, garam. Dengan adanya inti kondensasi itu mempercepat untuk pembentukan awan hujan. Jadi demikian kira-kira jadi teknologi yang dimaksud adalah teknologi mempercepat terjadinya hujan. Bukan untuk menahan, bukan. Jadi mempercepat bisanya,” imbuhnya.
Kendati demikian, BMKG menyebut keberadaan Roro yang menjadi sorotan merupakan bagian dari kearifan lokal.
“Kalau dilihat pawang hujan itu adalah suatu kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Secara saintis itu sulit untuk dijelaskan,” kata Guswanto.