Pika Sasikirana: Perjalanan Hidup yang Penuh Perjuangan

Dunia baru saja kehilangan salah satu pejuangnya. Pika Sasikirana, putri dari Santi Warastuti, menghembuskan napas terakhirnya pada 18 Maret 2025. Sejak kecil, Pika telah menghadapi tantangan besar dalam hidupnya. Dia mengidap cerebral palsy akibat ensefalitis Jepang, yang membuatnya harus bergantung pada perawatan intensif sepanjang hidupnya.

Tapi di balik sosoknya yang rapuh, Pika adalah simbol perjuangan bagi banyak keluarga di Indonesia yang berjuang mendapatkan akses ganja medis. Ibunya, Santi Warastuti, tak pernah berhenti memperjuangkan hak kesehatan bagi anaknya, bahkan ketika jalan yang harus ditempuh penuh dengan rintangan.

Aksi di Car Free Day: Seruan yang Menggema

Bicara soal perjuangan, sulit melupakan aksi Santi Warastuti di Car Free Day Jakarta pada 2022. Dengan penuh harapan, ia berdiri di tengah keramaian sambil memegang poster bertuliskan “Tolong Anakku Butuh Ganja Medis”. Aksi itu bukan sekadar protes, tapi juga seruan yang menggema hingga ke berbagai penjuru negeri.

Momentum itu kemudian membawanya ke langkah yang lebih besar: mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Narkotika. Santi dan para pejuang akses ganja medis menuntut adanya kebijakan yang lebih manusiawi bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti Pika.

“Kami hanya ingin yang terbaik untuk anak kami. Jika ganja medis dapat membantu Pika, mengapa tidak?” kata Santi dalam salah satu wawancara. Sebuah pertanyaan sederhana yang seharusnya bisa dijawab dengan kebijakan yang lebih berempati.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Angki Purbandono (@angki_pu)

Regulasi Ketat, Harapan yang Terkunci

Meski dunia medis telah banyak meneliti manfaat ganja dalam mengurangi gejala epilepsi, Indonesia masih menutup pintu rapat-rapat. Regulasi yang kaku membuat harapan para orang tua seperti Santi hanya bertumpu pada harapan yang tidak pasti.

Padahal, di banyak negara lain, ganja medis sudah mulai diakui dan digunakan untuk mengatasi berbagai kondisi kesehatan, termasuk epilepsi yang diderita Pika. Namun di Indonesia, harapan itu masih terhalang oleh sistem yang belum siap menerima perubahan.

Kematian Pika dan Seruan untuk Perubahan

Kepergian Pika bukan hanya tentang kehilangan seorang anak yang penuh harapan, tapi juga tentang refleksi akan hak kesehatan yang seharusnya bisa diakses oleh semua orang. ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) pun angkat bicara, menekankan bahwa ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk merevisi kebijakan terkait ganja medis.

“Kita tidak bisa terus mengabaikan kebutuhan anak-anak yang menderita penyakit serius. Ini adalah tanggung jawab kita sebagai bangsa untuk memberikan akses yang layak,” tegas ICJR dalam pernyataannya.

Kini, sorotan kembali tertuju pada pemerintah. Apakah mereka akan tetap menutup mata terhadap fakta ini, atau justru melihatnya sebagai momentum untuk menciptakan perubahan? Satu hal yang pasti: perjuangan Santi dan Pika tidak boleh berakhir sia-sia. Karena akses kesehatan yang layak bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar setiap manusia.

Let us know your thoughts!

  • UU TNI Baru Disahkan DPR, Ada Perubahan 3 Pasal yang Picu Kontroversi

  • Thailand Bakal Kurangi Masa Tinggal Bebas Visa dari 60 Jadi 30 Hari Akibat Bisnis Ilegal

  • Kasus Penemuan Ladang Ganja di TNBTS, Menhut Bantah Semua Tudingan