Antartika adalah benua terluas, terdingin, dan terkering di dunia dengan kecepatan angin yang sangat tinggi. Menurut NASA, luas Benua Antartika sebanding dengan gabungan luas Benua Amerika dan wilayah Meksiko, tanpa memiliki penduduk tetap.
Baru-baru ini, Argentinian research thermometer menyatakan dari akun twitternya bahwa suhu di ujung Barat-Laut Antartika pada musim dingin 2020 mencapai 18 derajat Celcius, yang biasanya berada di suhu -40 derajat Celcius.
#Antártida | Nuevo récord de temperaturas 🌡️
Este mediodía la Base #Esperanza registró un nuevo récord histórico (desde 1961) de temperatura, con 18,3°C. Con este valor se supera el récord anterior de 17,5°C del 24 en marzo de 2015. Y no fue el único récord… pic.twitter.com/rhKsPFytCb
— SMN Argentina (@SMN_Argentina) February 6, 2020
Suhu tersebut telah meningkat sebesar 0,8 Celcius jika dibandingkan dengan suhu terhangat Antartika sebelumnya di tahun 2015 yang mencapai 17,5 Celcius. Menurut data dari UN World Meteorological Organization (WMO), suhu di benua Antartika meningkat hingga 3C dalam 50 tahun terakhir, hal tersebut menyebabkan 87% fenomena glacier yang terdapat disana mencair dalam 12 tahun terakhir.
Tingginya persentase glacier yang mencair hingga tahun ini sangat mengkhawatirkan bagi dunia secara keseluruhan karena menyebabkan permasalahan yang sangat genting yaitu naiknya permukaan air laut. Pihak WMO sendiri akan meriset lebih lanjut sebelum akhirnya menetapkan perubahan iklim yang berdampak di wilayah Antartika ini.
Melansir dari The New York Times Randall Ceverny dari pihak WMO,”Semua yang telah kita lihat sejauh ini mengindikasikan kemungkinan catatan yang sah.”
Ceverny juga berpendapat, bahwa peristiwa suhu terhangat di Antartika pada tahun 2020 ini dikaitkan dengan fenomena ‘foehn’, angin kencang yang hangat dan kering yang secara berkala menuruni lereng di hampir semua pegunungan es di wilayah tersebut.
Fenomena ‘Foehn’
Istilah foehn (dalam bahasa Jerman, Föhn), pertama kali diterapkan pada peristiwa semacam yang terjadi di Pegunungan Alpen, adalah naiknya udara lembab ke atas lereng berangin dengan kecepatan tinggi. Udara yang menaiki lereng tersebut kemudian mengembang dan mendingin hingga kemudian saturated dengan uap air.
Setelah itu, mendingin secara lambat karena kelembabannya mengembun seperti hujan atau salju, yang kemudian melepaskan panas yang laten. Dampak dari fenomena foehn ini adalah perubahan dari kondisi yang basah dan dingin ke kondisi yang lebih hangat dan kering di sisi lain lereng.
Sehingga bisa dikatakan bahwa peristiwa rekor suhu yang mencapai titik terhangat di Semenanjung Antartika ini tidaklah mengejutkan dan merupakan fenomena yang normal.
Seorang glaciologist dari Universitas Washington , Eric Steig, mengatakan pemanasan suhu yang terjadi itu merupakan variabilitas dari dekade-ke-dekade di berbagai benua di dunia. Ia memprediksikan bahwa rekor suhu terhangat ini akan terjadi lagi dalam ‘not-so distant future’. Ia menambahkan bahwa rekor semacam ini akan terjadi lagi dan lagi di Semenanjung Antartika, walaupun tidak terjadi setiap tahunnya.