Kalau lo cukup aktif di media sosial belakangan ini, mungkin lo sempat lihat berita tentang penembakan seorang wartawan veteran AlJazeera, Shireen Abu Akleh, di tengah liputannya.
Aksi penembakan tersebut pun nggak bisa diambil remeh karena bisa dianggap aksi kejahatan perang.
Nggak heran, insiden ini menuai kecaman dari sejumlah negara di dunia, mengingat ia dan rekannya jelas-jelas sudah memakai alat kelengkapan –helm dan rompi “PRESS”– sebagai jurnalis di medan konflik.
Here’s what you have to know!
Kenapa kita butuh wartawan perang?
Pada dasarnya, jurnalisme punya hakikat sebagai mekanisme untuk memberi informasi sebanyak-banyaknya. Tujuannya, informasi ini bakal berguna untuk membantu masyarakat menentukan keputusan di kehidupan sehari-hari.
Kalau bicara dalam konteks perang, jurnalisme punya peran sebagai watchdog, alias pengawas.
Lewat investigasi dan pengamatan, jurnalis punya kekuatan untuk jadi pengawas pemerintahan dan kebijakannya, hingga mengungkap korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Risiko Tinggi
Wartawan punya peran penting untuk menyajikan berita dan fakta yang tepat kepada masyarakat. Untuk mendapat informasi yang akurat, nggak jarang mereka harus turun langsung ke lapangan.
Pekerjaan wartawan perang mengharuskan mereka berhadapan dengan segala risiko dari usaha untuk menyampaikan informasi: tewas, terluka, diculik, dilecehkan, ditangkap, dipenjara dan lain sebagainya.
Beban berat dan tingginya risiko pekerjaan pun harus berbanding lurus dengan perlindungan yang mereka terima.
Karena itu, idealnya, perlengkapan wartawan di medan perang nggak cuma jadi perlindungan fisik, tapi juga simbol penting buat semua pihak yang terlibat. Termasuk mereka yang berkonflik.
Wartawan perang perempuan risikonya dua kali lipat
Mengutip dari “Safety Guide for Journalism” rilisan UNESCO, sejak tahun 2005 lebih dari 750 wartawan dibunuh sebagai risiko dari pekerjaan mereka.
Pasalnya, ada kemungkinan hasil reportase mereka bisa menjadi sebuah propaganda. Hal ini lah yang tampaknya jadi faktor rasa takut pihak yang tengah berkonflik.
Nggak cuma itu, Director-General UNESCO, Irina Bokova menyebut wartawan perempuan sebagai ‘double attack’. Artinya, risiko yang jurnalis dapatkan dari pekerjaannya bakal dua kali lipat lebih tinggi kalau mereka adalah perempuan.
Dalam hal ini, Shireen Abu Akleh jadi contoh nyata.
Wartawan dilindungi hukum internasional
Menurut ketentuan hukum humaniter internasional, Jurnalis atau wartawan yang berada di situasi konflik bersenjata seharusnya dapat perlindungan dari kedua pihak yang bertikai.
Bahkan, hal ini nggak cuma muncul di satu literatur resmi. Mulai dari Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, hingga Statuta Roma pun mengatur perlindungan bagi jurnalis.
Selama tak ambil bagian dalam konflik, mereka punya hak untuk bertahan dan melindungi diri sendiri.
Intinya, wartawan merupakan salah satu pihak yang harus dilindungi dalam sengketa bersenjata. Mereka harus mendapat perlakuan selayaknya warga sipil.
Shireen Abu Akleh was an iconic and trailblazing reporter, renowned in the Arabic-speaking world.
We spoke to several of her colleagues and friends on the day she was shot dead by Israeli forces. pic.twitter.com/LgpKXgttcQ
— AJ+ (@ajplus) May 12, 2022
Your thoughts? Let us know!