“Yuni,” kisah coming-of-age yang rumit namun otentik
Film “Yuni” tengah jadi sorotan publik beberapa waktu belakangan.
Bukan cuma berkontribusi pada geliat industri hiburan yang mulai bangkit, film arahan Kamila Andini tersebut juga menuai respon positif dari para penonton dan kritikus.
Bukan cuma bikin bangga dengan menjadi perwakilan Indonesia di ajang Academy Awards, film ini juga hadir di saat yang begitu tepat; di tengah riuhnya isu patriarki dan kekerasan seksual di Indonesia.
Baca juga: Marvel Bakal Garap Sekuel ‘Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings’
Isu sosiokultural di film “Yuni”
Film ini fokus berlatar di kawasan permukiman kampung di Serang.
Kisahnya dimulai dengan sang karakter utama Yuni, dipanggil ke ruang guru gegara mencuri ikat rambut temannya yang berwarna ungu. Maklum, Yuni memang punya obsesi tersendiri terhadap warna tersebut.
Meski begitu, siswi 16 tahun tersebut bukan pelajar yang bermasalah. Ia punya prestasi yang begitu cemerlang – bahkan berpotensi mendapatkan beasiswa penuh perguruan tinggi.
Namun seiring berjalannya waktu, Yuni mendapati dirinya ada di dunia yang sepenuhnya baru. Ia dihadapkan berbagai pilihan hidup, dan ia tak tahu opsi mana yang harusnya ia ambil.
Sementara kemungkinan akademik terbuka lebar, nilai dan norma konservatif yang berlaku menekannya untuk buru-buru menikah. Meski ia mendapat restu dari teman dan keluarga, Yuni melihat pelaminan sebagai penutup kebebasan dan kesempatan hidupnya.
Hingga akhir kisah, penonton pun diajak untuk turut serta dalam roller coaster realita Yuni. Haruskah ia menikah dan menikmati nikmatnya kehidupan domestik sebagai rumah tangga? Atau menjelajah kemungkinan dan kesempatan baru, meski ia mungkin berakhir sebagai janda, khas dengan warna favoritnya.
Baca juga: Ilmuwan Tiongkok Ciptakan Plastik Ramah Lingkungan yang Terbuat dari Sperma
Durasi 2 jam
Film ini seolah jadi cermin buat kondisi sosial kita hari ini.
Andini dan penulis naskah Prima Rusdi dengan jeli berkaca pada isu-isu partriarkis, kekerasan dan hal-hal tabu yang dihadapi banyak perempuan remaja masa kini; termasuk tentang pacaran, persekusi, seks, orgasme hingga masturbasi.
Namun kekuatan utama film ini juga jadi celah kekurangannya.
Sementara isu yang diangkat begitu penting dan banyak, penuturan kisah yang hadir secara slow paced membuat film ini terasa begitu dragging di beberapa bagian.
Seandainya saja film ini diperkuat dengan comic relief yang lebih dominan, mungkin film berdurasi lebih dari 2 jam ini akan menyisakan kesan yang lebih kuat setelah credit scene berakhir.
Meski begitu, kisah coming-of-age ini tetap jadi narasi penting dalam portfolio perfilman Indonesia.