Semua yang lo mesti tau tentang gangguan ginjal misterius
Jumat (14/10) lalu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat 152 anak terkenal gangguan ginjal akut dengan mayoritas usia 1-5 tahun.
Penyakit ini adalah kondisi dimana fungsi ginjal menurun secara tiba-tiba. Hal ini menyebabkan sejumlah gejala awal seperti diare, demam dan batuk-pilek.
Penyakit ini pun terbilang misterius karena tidak diketahui apa penyebabnya.
Kasus tersebut ditemukan di 16 provinsi di Indonesia. Temuan kasus terbanyak terjadi di DKI Jakarta dengan 49 kasus, kemudian Jawa Barat 24 kasus, dan Sumatera Barat 21 kasus.
Menurut Pengurus Pusat IDAI dr. Pimprim Basarah Yanuarso, jumlah itu bisa berubah-ubah. Pasalnya ada beberapa rumah sakit yang tidak melaporkan kasusnya karena dianggap rahasia.
Berikut yang lo harus tau tentang gangguan ginjal akut yang menyerang anak-anak di Indonesia!
Baca juga: Dua Mahasiswa Unair Jadi Pembicara di FBI Karena Berhasil Bongkar Kasus Pemalsuan Website
Masih diteliti, publik diharapkan tidak panik
Beberapa waktu lalu, Kemenkes telah membentuk tim investigasi ginjal akut misterius. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi pun memastikan bahwa penyakit ini tidak ada kaitannya dengan covid-19.
Kemenkes juga tengah berkoordinasi dengan para ahli kesehatan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pasalnya kasus serupa juga terjadi di Gambia, Afrika Barat.
Berdasarkan penelitian tersebut, ada dugaan ke arah konsumsi obat anak yang mengandung etilen glikol. Meski begitu, belum ada bukti keterkaitan dengan kandungan obat yang dikonsumsi para pasien.
Yang pasti, beberapa waktu lalu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memastikan adanya peredaran obat batuk dengan kandungan etilen glikol yang tidak terdaftar.
Adapun keempat sirup tersebut, yakni Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Keempatnya diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Limited, India. Kini keempat sirup tersebut pun ditarik dari peredaran.
Sementara itu, Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI dr. Eka Laksmi Hidayati menyebut bahwa penyakit ini terjadi akibat kekurangan cairan atau kehilangan cairan dalam waktu singkat, misalnya pada anak yang diare, mengalami dehidrasi, pendarahan yang hebat, atau pasien yang mengalami fase shock saat terkena demam berdarah dengue.
Baca juga: Resesi Global Diprediksi Bakal Terjadi, Gen Z Ikut Kena Dampak?
Gejala dan penanganan medis
Gejala infeksi penyakit ini meliputi batuk, pilek, diare, atau muntah.
“Dia hanya beberapa hari timbul batuk, pilek, diare, atau muntah, dan demam, kemudian dalam 3-5 hari, mendadak tidak ada urinnya. Jadi, tidak bisa buang air kecil, betul-betul hilang sama sekali buang air kecilnya. Jadi, anak-anak ini hampir semuanya datang dengan keluhan dengan tidak buang air kecil atau buang air kecilnya sangat sedikit,” jelas Eka.
Pasien penyakit ini pun akan diberikan terapi obat dan cairan.
Sementara untuk pasien yang sudah diberikan obat, tetapi ginjalnya tetap tidak mau memproduksi urin, dr. Eka mengatakan mereka harus menjalani cuci darah.
“Hemodialisis atau Peritoneal Dialisis, cuci darah dengan mesin atau yang melalui selaput perutnya pasien itu sendiri, atau metode lain yang advance, dialisis yang continue. Dan kami juga melakukan plasma exchange atau transfusi tukar,“ kata dia.
What are your thoughts? Let us know!