Welcome to ‘new normal’
Yes, ‘new normal‘, dua kata yang seolah merubah gaya hidup setiap untuk bisa “berdamai” dengan pandemi Covid-19 yang terjadi hampir diseluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, masyarakat baru mulai heboh dan panik setelah Presiden Joko Widodo mengumkan kasus pertama positif Covid–19 pada bulan Febuari lalu, dan semenjak saat itu banyak kebijakan yang diambil pemerintah untuk bisa memutus mata rantai penyebaran kasus Covid–19.
Salah satu keputusan terbaik mungkin dengan pemberlakuan ketentuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), di mana para warga secara tidak langsung dipaksa untuk tetap berada di rumah.
Selama hampir 3 bulan, para warga melakukan seluruh aktivitas dari rumah, mulai belajar, bekerja, sampai dengan ibadah.
PSBB dinilai berhasil menekan angka pertumbuhan Covid–19, meski pada kenyataannya masih banyak pelanggaran yang terjadi di masa itu, sebut saja warga yang berkerumun saat MCD Sarinah tutup sampai dengan ramainya orang berbelanja baju lebaran.
Warga Jakarta seolah terpecah menjadi dua kubu, mereka yang takut dan ingin Covid-19 untuk bisa segera tuntas versus mereka yang tidak peduli dan menganggap wabah ini adalah konspirasi.
PSBB yang berdampak pada merosotnya ekonomi di Indonesia, memaksa pemerintah untuk akhir kembali melonggarkan peraturan dan memulai sebuah fase baru yang harus dijalankan oleh seluruh warga Indonesia, yaitu New Normal.
Selama fase tersebut, para warga Jakarta tetap dihimbau untuk tetap berada di rumah, dan bagi mereka yang terpaksa ke luar rumah untuk bekerja diharapkan mengutamakan beberapa protokol kesehatan seperti mencuci tangan, menjaga jarak dan menggunakan masker.
Sejak 4 Juni, semua warga sepertinya sudah memulai new normal dan beraktifitas seperti sebagai mana mustinya, beberapa kantor, restoran, dan pusat perbelanjaan pun sudah mulai beroperasi.
Namun muncul pertanyaan, seberapa amankah new normal dijalankan oleh semua pihak? Bagaimana dengan mereka yang rentan tertular Covid-19?
Here we go, some of the unspoken truth for you all “healthy” people out there.
Adithya Putra Nasir (Cepot), Penderita Thalassemia Mayor sejak usia 3 tahun
Gua mengenal Adhit sedari kecil, kita berdua sama-sama penderita thalassemia mayor dan sempat mendapatkan perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Untuk bisa menyambung hidup, penderita thalassemia mayor diharuskan untuk melakukan transfusi darah dalam jangka waktu tertentu, hal tersebut merupakan sebagai dampak dari tulang sumsum penderita yang tidak dapat memproduksi sel darah merah seperti orang normal.
Sejak masa PSBB di jalankan pemerintah, dirinya memilih untuk sebisa mungkin berada di rumah karena masuk dalam kategori rentan. Namun kewajibannya untuk melakukan transfusi seteiap 3 minggu sekali memaksanya untuk keluar dan bahkan mengunjungi rumah sakit.
Protokol dari rumah sakit pun diperketat, kegiatan yang biasanya bersifat rutinitas kini berubah menjadi sesuatu yang menakutkan dan mengkhawatirkan bagi dirinya, tidak bisa dipungkuri bahwa Covid-19 menjadi salah satu momok yang menakutkan.
Selain itu, Adhit juga tidak jarang meng-upload igstory yang berisikan ‘permohonan‘ bantuan kepada teman-teman followers-nya untuk menjadi pendonor karena sejak pandemi Covid-19 terjadi, baik dirinya dan teman-teman penyitas thalassemia lainya kerap kali mengalami kehabisan stock darah.
“Nothing new and normal, corona masih terus menyebar. Sebenci-bencinya gua dengan PSBB yang depressing, tapi menurut gua sebagai pasien thalassemia lebih memilih kembali normal tanpa corona atau istilah new normal yang orang bilang.” begitu tuturnya saat ditanya soal pandanganya terhadap “new normal”.
Bahkan dengan adanya new normal, Adhit tidak merasa aman sama sekali. Justru para pasien yang harus berobat ke rumah sakit seperti penderita thalassemia malah menjadi takut dalam menjalani perawatan mengingat sudah ada beberapa dari mereka yang terinfeksi Covid-19 hanya karena menjalankan perawatan rutin.
Mandy CJ, kelainan detak jatung dan asthma
Berbeda dengan Adhit yang rutin ke rumah sakit untuk melakukan transfusi darah, Mandy, rekan sekantor gua ternyata juga masuk dalam kategori rentan.
Sejak berusia 9 tahun, Mandy mengetahui bahwa dirinya memiliki beberapa kondisi spesial seperti asthma, alergi dan juga arrhythmia yang merupakan kondisi di mana jantung seseorang berdetak dengan tidak normal, entah terlalu cepat atau terlalu lamban.
Untuk memastikan bahwa dirinya dalam kondisi aman dan sehat, selain mengkonsumsi obat-obatan dan pola makan yang sehat, Mandy juga diharuskan untuk mengontrol rekam detak jantung setiap satu bulan sekali dan rekaman jantung tersebut didapakan dari sebuah alat yang menempel pada tubuhnya
Setelah pandemi Covid-19 terjadi, meski kasus antara Mandy dan Adhit berebeda, ternyata mereka memiliki kesamaan saat menghadapi situasi ini yaitu memilih untuk berdiam di rumah.
Bahkan secara gamblang Mandy mengaku kalau dirinya sebenarnya sudah kehilangan interest untuk bisa pergi ke cafe atau ke mall, mengingat kesehatan adalah priotas utamanya dan dirinya tahu bahwa selain merugikan diri sendiri, dia juga akan merugikan orang tuanya jika nantinya terdiagnosa positif Covid-19.
Bicara soal new normal di matanya, Mandy merasa kalau new normal sounds stupid mengingat mungkin Indonesia belum sampai dipuncak kasus virus corona but then she said kalau keputusan new normal berdasarkan keperluan ekonomi maka langkah tersebut ‘benar’, meskipun besar resiko penularan yang bisa terjadi.
Selain mengkhawatirkan kalau dirinya bisa saja menularkan orang terdekat, suprisingly Mandy juga khawatir kalau justru orang terdekatnya yang menjalankan new normal dan kemudian positif, malah akan menularkannya atau ayahnya yang memiliki kondisi serupa dengan Mandy.
So is new normal safe for everyone?
I hope you guys are agreed that it’s not safe at all, meskipun mereka dengan kasus penyakit spesial terlihat lebih rentan, nyatanya tidak sedikit dari mereka yang sehat justru positif Covid–19.
Di saat seperti ini, semua memang ingin memilih untuk bisa kembali ke kondisi sebelum pandemi Covid-19 terjadi, but sadly we can’t dan salah satu hal terbaik yang bisa dilakukan adalah untuk tidak lalai dan egois.
Wear your mask, wash your hand and practice physical distancing! Protokol tersebut dijalankan bukan hanya sebagai wujud tanggung jawab kepada diri sendiri, melainkan sebuah wujud nyata kepedulian kepada orang lain di sekitar. Ini bukan sebuah fase yang mudah untuk dilewati, but we can!
Better be responsible while you can, before it’s too late. It’s not only about you, but everyone arounds you.
Stay safe :)