Citayam Fashion Week vs Harajuku
Apa yang muncul di pikiran lo kalo denger istilah “Citayam Fashion Week?” Kumpulan remaja yang suka nongkrong? Rombongan yang suka adu outfit? Bonge dan Kurma? Atau mungkin aktivitas kolektif yang nggak jauh beda dengan Harajuku di Jepang?
Meski banyak menuai pro dan kontra, nggak bisa dimungkiri bahwa Citayam Fashion Week punya banyak kesamaan dengan Harajuku. Bedanya, keberadaan Harajuku sudah diakui di komunitas fashion internasional.
Lantas apa aja kesamaan antara keduanya? Gimana Citayam Fashion Week bisa jadi permulaan gerakan fashion yang nggak bisa dipandang sebelah mata?
https://www.instagram.com/reel/Ce_EdZejQqq/?utm_source=ig_embed&ig_rid=2f3876a2-aa77-473b-9180-87093e8476d8
Baca juga: “Citayam Fashion Week” dan Isu Ruang Publik
- Jadi ekspresi diri
Distrik Harajuku di Shibuya, Tokyo, mulai jadi destinasi favorit pecinta fashion di Jepang sejak era 1970-an.
Bermula sebagai kawasan belanja, lokasi tersebut berkembang jadi titik temu anak-anak muda dari berbagai subkultur. Semuanya datang dengan satu kesamaan; outift yang unik dan bertolak belakang dengan gaya “normal” yang berlaku.
Banyak yang berspekulasi bahwa hal ini terjadi sebagai bentuk perlawanan terhadap nilai dan norma yang berlaku secara ketat di Jepang. Namun ada pula yang berspekulasi bahwa gaya fashion di Harajuku adalah bentuk selebrasi ekspresi diri.
Hal ini berbanding lurus dengan apa yang Citayam Fashion Week representasikan. Mereka ingin mengekspresikan diri sembari beradu eksis lewat pilihan outfit yang unik dan serangkaian konten yang mereka buat di media sosial. Secara nggak sadar, mereka aktif mendokumentasikan street fashion movement di Jakarta.
- Isu ruang publik
Senada dengan Harajuku, komunitas Citayam Fashion Week juga sempat menuai pro dan kontra, termasuk dari komunitas setempat.
Berkaca dari Harajuku, anak-anak muda Sudirman harus saling menghormati warga setempat. Cara sederhananya adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan.
Otoritas lokal juga nggak akan mengusik tongkrongan di Sudirman jika mereka menimbulkan gangguan seperti bikin macet atau keributan.
Hal ini lah yang membuat komunitas lokal dan para anak muda yang nongkrong bisa coexist dan lestari hingga saat ini.
- Kolaborasi
Seiring dengan berjalannya waktu, anak-anak muda yang datang di Harajuku membentuk komunitas yang kuat. Hal ini pun memicu banyak kolaborasi dan kerja sama.
Sebagai contoh, banyak mahasiswa dari perguruan tinggi fashion di Jepang yang akhirnya bertemu dengan model dan kolaborator di Harajuku dan membuat kreasi yang baru.
Nggak cuma itu, komunitas lokal juga ikut senang karena kawasan tersebut kian ramai dan mendorong tingkat sirkulasi transaksi di toko-toko lokal Harajuku.
Hal ini tentunya akan lebih mudah terjadi di Sudirman berkat bantuan media sosial. Penggiat Citayam Fashion Week bisa saling kenal dan berkolaborasi bikin konten dan memperkuat komunitas mereka. Siapa tau? Mungkin mereka bisa have fun sambil membentuk masa depan industri fashion Indonesia di masa depan.
What are your thoughts? Let us know!