Jadi korban KDRT nggak se-simple itu
Kasus KDRT di kalangan selebriti sedang marak jadi headline berbagai media, mulai dari korban yang melapor hingga mencabut tuntutan bikin publik invested sama kasus semacam ini.
Nggak sedikit dari kita yang bertanya-tanya, “Tinggalin aja, kok malah balikan lagi sih?”
Padahal, studi menunjukkan kalau pergi dari hubungan yang abusive adalah langkah yang rumit buat si korban.
Alasannya beragam dan nggak se-simple itu. Mulai dari ketergantungan finanansial, urusan anak, sampai nilai budaya yang melarang untuk bercerai pun bisa jadi hal-hal yang menahan korban untuk benar-benar pergi.
Bahkan, sebuah penelitian dari National Institute of Justice Amerika Serikat mengatakan kalau waktu paling berbahaya dalam hubungan abusive adalah saat korban akan pergi meninggalkan pelaku.
Itulah kenapa kita nggak bisa asal judge kalau ada korban yang ujung-ujungnya balik lagi ke si pelaku.
Kekerasan dalam hubungan ada siklusnya
Menurut teori tentang siklus kekerasan yang dikembangkan oleh Lenore E. Walker, hubungan abusive bisa ditandai dengan adanya pola yang repetitif dan bisa ditebak.
Ada empat tahapan yang terjadi di siklus kekerasan, yaitu:
Tension building: Ketegangan mulai muncul di dalam hubungan, korban mulai merasa harus berhati-hati supaya pelaku nggak “meledak”.
Acting out period: Di sinilah aksi kekerasan dilakukan.
Honeymoon period: Pelaku minta maaf dan menunjukkan bahwa mereka “menyesal”,berjanji takkan terulang lagi
The calm period: Mereka berbaikan, korban percaya kalau si pelaku berubah.
Faktanya, pattern ini yang bikin banyak korban KDRT susah untuk meninggalkan hubungan mereka. Siklus ini erat dengan dengan istilah Battered Women Syndrome.
Apa itu Battered Women Syndrome, dan apa yang mesti kita lakuin?
Sebuah riset dari jurnal Open Medical Publishing menyebutkan bahwa siklus KDRT pada perempuan biasa dikaitkan dengan istilah Battered Women Syndrome.
Seseorang yang sedang berada dalam “sindrom” ini, biasanya merasakan kembali kekerasan yang pernah dialami. Selain itu, gejala lainnya adalah adanya upaya buat menghindari dampak psikologis dengan mengabaikan orang-orang, aktivitas, maupun emosinya sendiri.
Yang bisa kita lakuin saat ada kasus KDRT di sekitar kita salah satunya adalah dengan nggak langsung memaksa pergi, apalagi victim blaming si korban.
Baik mereka bakal pergi dari hubungan itu atau nggak, setidaknya kita bisa bantu mereka bikin safety plan sambil tetap kasih mereka dukungan dan lapor ke pihak berwajib.
Hal penting yang mesti diingat, kita nggak selalu bisa nge-”rescue” korban dari hubungannya. Bagaimanapun, keputusan ada di tangan mereka selama kita bantu jadi support system dan cari jalan keluar yang aman.
What do you guys think? Let us know!