“Indonesia ‘surga’ pedofilia…”
Pedofilia kerap dicap sebagai salah satu gangguan yang paling buruk.
Mirisnya, kasusnya begitu sering terjadi di Indonesia. Bahkan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Kak Seto, berdalih bahwa beberapa orang asing menyebut Indonesia sebagai “surga” buat para pedofil.
“Beberapa orang asing yang pernah berdiskusi dengan saya, seolah-olah Indonesia ‘surga’ pedofil,” katanya, sebagaimana yand dikutip dari Pikiran Rakyat.
Karena itu, Kak Seto pun menekankan pentingnya ganjaran hukum seberat mungkin buat mereka yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Lantas, pedofilia itu apa sih?
Baca juga: Demonstrasi Mahsa Amini In a Nutshell: Semua yang Lo Harus Tau
Bagian dari chronophilia
Meski punya stigma yang begitu buruk, para ilmuwan berdalih bahwa gangguan tersebut sebagai gangguan seksual yang paling sering salah dipahami.
Secara psikologis, gangguan tersebut adalah bagian dari chronophilia: pola ketertarikan seksual yang diasosiasikan dengan rentang umur tertentu. Berikut beberapa di antaranya:
- Pedofilia: preferensi seksual terhadap anak-anak pra remaja
- Hebephilia: prefensi seksual terhadap anak-anak yang baru saja puber
- Ephebophilia: preferensi seksual terhadap individual yang berusia pertengahan hingga akhir masa remaja, yang umumnya berusia 15 hingga 19 tahun
- Teleiphilia: preferensi seksual terhadap individual yang sudah dewasa
- Gerontophilia: preferensi seksual terhadap orang yang sudah lanjut usia
Dari preferensi-preferensi tersebut, pedofilia diakui sebagai gangguan mental.
Sementara itu, hebefilia dan ephebophilia (dikutip dari Psychology Today) tidak dianggap sebagai gangguan mental.
Meski begitu, keduanya dianggap tak etis di mata publik, bahkan aksi menjalin hubungan antara orang dewasa dengan orang di bawah umur dianggap melanggar hukum.
Baca juga: CEO Google Ajak Karyawan Untuk Hemat, ‘Nggak Perlu Duit untuk Bersenang-senang’
Kenapa pedofil “beraksi”
Para ahli yang mempelajari pedofilia sebagai istilah yang mengacu pada ketertarikan, bukan “aksinya.”
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyebab dan bagaimana para pengindap pedofilia bisa mengontrol tindakannya secara lebih baik.
Salah satu temuan ahli adalah bagimana gangguan tersebut bisa terbentuk sejak lahir, sementara lingkungan berperan menciptakan dorongan untuk melakukan kekerasan.
Hal ini diungkapkan oleh Michael Seto, direktur peneliti forensik di Royal Ottawa Health Care di Kanana. Ia menyebut bahwa pedofilia adalah kondisi bawaan lahir atau sediaknya kenderungan yang sudah ada sejak kecil.
Kita juga harus bisa membedakan pedofilia dengan pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
“Ada penganiaya anak dan ada pedofil. Jika keduanya digambarkan dalam diagram Venn, maka kamu akan menemukan banyak kesamaan,” jelas Anna Salter, psikolog, penulis dan ahli yang sudah mengevaliasi lebih dari 500 pelaku kekerasan seksual.
“Ada orang-orang yang tertarik (secara seksual) dengan anak-anak… dan ada orang yang melakukan kekerasan terhadap anak, meski bukan pedofil. Mereka menyiksa anak karena rasa marah. Mereka menyiksa anak karena mereka takut dengan wanita dewasa. Mereka menyiksa anak untuk mendapatkan balaks dendam, namun mereka tidak punya preferensi umur terhadap anak-anak praremaja.”
Salter juga mengungkapkan adanya dinamika kekerasan seksual dipengaruhi “penggerak” dan “rem.” Banyak orang memiliki keinginan seksual (penggerak) namun ada pula “rem” (empati) yang menghentikan mereka untuk beraksi.
Buat pedofil, “penggerak” mereka adalah ketertarikan seksual terhadap anak-anak, namun mereka masih punya “rem” untuk menghentikan mereka melakukan tindakan pelecehan.
Salter mengungkapkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami kenapa pedofil tidak bertindak sesuai ketertarikan mereka, namun beberapa pedofil punya “rem” yang buruk karena mereka dibesarkan di lingkungan yang buruk yang mengabaikan mereka atau bahkan menyiksa mereka. Selain itu, ada pula komponen genetik yang harus dipertimbangkan.
Your thoughts? Let us know!