Budaya thrift di Indonesia memiliki prospek yang baik

Budaya thrift (thrifting) atau yang berarti berhemat dengan cara membeli barang bekas sudah ada sejak abad 19. Awalnya budaya ‘thifting’ merupakan sebuah wujud perlawanan terhadap budaya fast fashion atau penggunaan pakaian untuk jangka pendek. Kala itu, budaya fast fashion dinilai berhubungan erat perilaku konsumtif dan bisa berdampak buruk pada lingkungan.

Fast forward ke masa sekarang, kebiasan tersebut berkembang begitu pesat di Indonesia. Bahkan dalam beberapa tahun ke belakang, sudah banyak kalangan anak muda yang menghabiskan waktu untuk menekuni dunia thrifting. Hal tersebut bisa diliat dengan banyaknya toko thrift yang bermunculan di berbagai forum jual beli (FJB), sampai dengan munculnya berbagi komunitas thrifting di berbagai daerah. Secara tidak langsung, itu merupakan sebuah indikator kalau masa depan budaya thrifting di Indonesia memiliki prospek yang cukup baik.

Tingginya peminat juga membuat harga barang cenderung meningkat, terutama pada komoditi fashion. Tidak sedikit orang yang mulai melihat ini sebagai peluang investasi. Pertanyaannya adalah seberapa besar potensi barang thrift untuk menjadi objek investasi?

Berikut adalah alasan kenapa barang thrift layak menjadi objek investasi :

Proses mendapatkan barang thrift yang unik

via pingpoint.com

Mendapatkan barang langka atau barang dari brand-brand ternama patinya sudah menjadi tujuan utama para pemburu barang thrift. Meski tidak mudah dan menghabiskan banyak waktu untuk eksplorasi dan searching, nyatanya banyak yang masih memilih melakukan cara dibanding membeli dari toko atau penjual yang sudah mengkurasi barang. 

Alasannya karena harga yang ditawarkan toko pasti akan lebih mahal jika dibandingkan dengan ‘hasil pencarian sendiri.’ Bagi sebagain orang, perbedaan harga itu menjadi peluang untuk bisa meraup keuntungan.

Terbatasnya jumlah barang yang beredar

via kumparan.com

Menjamurnya thrift shop secara tidak langsung membuat permintaan pasokan barang terus meningkat. Namun sangat disayangkan hal itu tidak diimbangi dengan ketersediaan barang dipasaran. Salah satu alasannya mandeknya suplai barang adalah karena diperketatnya perizinan masuknya barang-barang bekas ke Indonesia.

Pasalnya dalam beberapa tahun terakhir sering kali terjadi penyeludupan barang bekas secara ilegal yang mayoritas masuk dari pelabuhan atau perbatasan antar negara. Jadi secara tidak langsung itu juga mempengaruhi kenaikan ‘value’ pada barang-barang thrift.

Memiliki nilai historis yang tinggi

via clutchmagjapan.com

Jangan salah, meski dicap barang bekas, tidak sedikit dari barang-barang tersebut yang memiliki nilai historis. Sebut saja koleksi pakaian yang hanya dirilis pada tahun-tahun tertentu dan tidak akan diproduksi kembali. Selain itu ada juga pakaian yang dirilis secara terbatas menggunakan material khusus.

Tidak bisa dipungkiri kalau faktor di atas bisa menjadi penentu sebuah harga barang. Bahkan ada yang bisa mencapai 10 kali lipat dari harga aslinya. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri khususnya bagi kalangan penggemar thrifting untuk memebeli sebuah produk dan berinvestasi.

So, bagi penggemar thrifting, gak usah khawatir karena di event Urban Sneaker Society 2020 bakal ada beberapa thrift shop yang sudah dikurasi secara detail.