Bisa Kan Responnya Nggak Pake Nada Tinggi?
Ngebangkang adalah salah satu trait jadi seorang anak. Siapa pun, dalam momen hidupnya, pasti pernah jawab pertanyaan orang tua dengan males-malesan, nada tinggi, atau cuma ‘hmm’ doang.
Kalau cuma satu atau dua orang yang kayak gini, mungkin memang si anak yang kurang ajar. Masalahnya, hampir setiap orang nggak selalu patuh sama orang tuanya.
Yang awalnya kebohongan-kebohongan kecil karena rasa takut jadi tindakan-tindakan yang nggak mengenakkan buat orang tua.
Di situasi extreme, contohnya adegan-adegan sinetron, anak yang ngebangkang suka kebangetan jahatnya.
Mungkin dalam hati kamu ngerasa kalau hal ini nggak mungkin terjadi karena kebanyakan didramatisir. Sayangnya, dengan adanya internet adegan-adegan jahat itu jadi keliatan malang-melintang di timeline—dalam kejadian nyata.
Malin Kundang, Role Model Teenage Rebellion
Siapa yang nggak tahu kisah Malin Kundang?
Mitos soal anak durhaka yang dikutuk jadi batu ini pasti sering banget diperdengarkan sama guru atau orang tua. Bahkan, mungkin kamu nemu sendiri dengan baca di buku pelajaran Bahasa Indonesia.
Dari kecil kamu pun mungkin tahu kalau tujuan mitos ini dibuat adalah biar kamu nggak durhaka. Nggak ada yang dianjurkan atau diajarkan buat ngikutin langkah Malin Kundang.
Tapi, entah kenapa, secara natural sepertinya seorang anak selalu menemukan dirinya ngebangkang di momen-momen tertentu. Malin Kundang, yang meski jalan hidupnya dihindari, malah jadi tragic hero yang mewakili situasi sebagian anak muda.
Kenapa Anak Muda Ngebangkang?
Dalam Teenagers: Why Do They Rebel, dikatakan ada beberapa alasan kenapa anak muda ngebangkang.
Kepribadian dan Otak Masih Dalam Pembentukan
Secara ilmiah, di masa remaja ada bagian otak yang masih berkembang. Namanya prefrontal cortex, posisinya tepat di belakang jidat. Bagian ini bertanggung jawab buat penilaian akan hal-hal.
Remaja mulai mempertanyakan hal-hal termasuk nilai di masyarakat. Dunia keliatan lebih realistis dibanding pas kecil, dan orang tua terlihat nggak sesempurna dulu. Sosok orang tua bukan lagi panutan dan superhero seorang anak di masa remaja.
Ditambah lagi, internet memperkeruh keadaan lewat persepsi akan orang tua ideal. Pasalnya, setiap keluarga punya caranya masing-masing. Selagi nggak melanggar etika dan norma yang ada, mendidik anak nggak bisa disamaratakan.
Mulai Masuk ke Masyarakat Sebagai Individu
Remaja, dan dewasa muda, dianggap sebagai anggota masyarakat. Orang nggak akan identifikasi kamu sebagai anaknya si anu lagi di titik ini. Kamu sudah berdaulat akan hidupmu.
Di titik ini juga, seorang anak akan mencari identitas yang paling cocok untuknya. Atribut-atribut budaya populer, gaya berpakaian, bicara, rambut, dan minat akan jadi hal yang dieksplor di masa ini.
Sering kali, hal ini berbenturan sama orang tua karena ada perbedaan generasi. Ditambah komunikasi yang buruk, kompromi nggak ditemukan juga.
Rasa Penasaran yang Tinggi
Masih dalam tema eksplorasi akibat pola pikir yang terbuka, seorang remaja penasaran akan banyak hal.
Rasa penasaran dibarengi dengan kemampuan penilaian yang belum utuh langsung bisa diterjemahkan sebagai pembangkangan.
Pasti remaja ingin coba ini dan itu, sedangkan orang tua melarang karena hal tersebut dirasa buruk.
Dari Sisi Orang Tua
Ada kemungkinan semua ini terjadi karena andil orang tua.
Ada yang namanya toxic parenting, overparenting, dan ada pula komunikasi yang nggak lancar yang mungkin jadi penyebabnya.
Disamping itu, nggak semua orang tua juga siap mendidik anak dengan cara yang optimal. Bisa karena harus sibuk bekerja karena ada kebutuhan yang mesti dipenuhi, tidak siap punya anak, dan/atau memang awkward secara sosial.
Yang perlu diinget adalah, bukan soal salah siapa ini semua terjadi tapi gimana ngehadapi semua ini.
Baik orang tua atau anak, keduanya harus belajar jadi pribadi yang lebih baik lagi. Ini adalah pelajaran tanpa henti sebagai seorang manusia.
—
-
Makin Banyak Hiburan, Makin Deket sama Kesedihan?
-
Studi: Rata-Rata Orang Bisa Bengong Sampe Setengah Hari
-
Anak Muda Nggak Mau Jadi Guru?