Penamaan orang Jawa yang khas 

Lo nyadar nggak kalau nama-nama tradisional mulai jarang muncul pada anak zaman sekarang?

Nama-nama dengan awalan Su, seperti Suroto dan Sutiyem, maupun yang dengan awala Nga, seperti Ngatmono dan Ngatemi sepertinya udah asing di telinga kita.

Ya, orang zaman dahulu, khususnya di daerah Jawa memang terkenal dengan namanya yang simple dan diawali dengan awalan yang itu-itu saja. Hal ini diungkapkan oleh artikel “Saat Orang Jawa Memberi Nama: Studi Nama di Tahun 1950-2000” yang terbit di jurnal Patrawidya.

Dalam artikel itu, disebutkan kalau orang-orang etnis Jawa memang mudah dikenal dari nama mereka yang khas. Bagaimanapun, studi itu juga bilang kalau pemberian nama kepada anak tergantung kepada tingkat sosial orang tuanya. 

Misal, anak dari keluarga petani sederhana tak akan memberikan nama anaknya dengan akhiran –ningrat. Ada kepercayaan bahwa nama yang “terlau berat” bisa membawa sial bagi mereka (Poensen: 1870).

Nama-Nama Tradisional (Sutiyem, Ngatmono, Poniyem, dll.) Makin Punah, Kok Bisa?
via Tenor

Nama tradisional yang makin pudar

Kalau sebelumnya nama-nama tradisional dikenal dengan kesederhanaan dan ciri khasnya, perkembangan zaman bikin nama anak makin kompleks. Dengan begitu, kesukuan seseorang pun makin nggak mudah kita identifikasi dari namanya.

Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan pengetahuan dan pemikiran, terutama era modernisasi.

Pada tahun 1960 hingga 1970-an, mulai muncul stigma pada nama-nama tradisional yang kian lama dianggap “kampungan”. Menurut studi yang sama, nama Jawa yang makin panjang (seetidaknya empat suku kata) era itu dianggap lebih enak didengar dan terlihat wah.

Namun, trennya berubah lagi bagi anak yang lahir tahun 1990-an hingga 2000-an. Panjang pendek nama nggak lagi jadi tolak ukur status sosial dan ekonomi seseorang. 

Nama-Nama Tradisional (Sutiyem, Ngatmono, Poniyem, dll.) Makin Punah, Kok Bisa?
via Tenor

Gimana nama yang “keren” sekarang?

Sekarang, nama orang makin beragam. Pasalnya, masyarakat semakin kreatif dalam memilih sumber nama untuk anak mereka. Dalam hal ini, nama asing pun jadi pilihan.

Menurut penelitian berjudul “Tren Penggunaan Bahasa Asing pada Nama Diri Masyarakat Jawa” dari Universitas Negeri Yogyakarta, nama yang populer di tahun 2000 hingga 2020 cenderung memakai kosakata bahasa Inggris dan bahasa Arab. 

Selain itu, masyarakat sekarang mengadopsi berbagai sumber sebagai inspirasi nama, dan memodifikasinya jadi unik, mulai dari bulan kelahiran, zodiak, hingga sekadar sebutan yang enak didengar.

Munculnya berbagai acara televisi dan perkembangan internet punya peran yang besar dalam berubahnya mindset masyarakat untuk menamai anaknya. Status sosial mereka nggak lagi mengekangnya.

Walaupun nama tradisional mulai ditinggalkan, perubahan ini jadi bukti kalau makin hari nama bukan lagi pembuktian kemapanan ekonomi, pendidikan, ataupun status sosial.

So what does a name mean to you? Let us know!