Sebagian besar dari kita mungkin menganut hustle culture dalam pekerjaan.
Di dunia yang serba ‘sat set sat set’, kita mungkin ngerasa ‘tertinggal’ kalau nggak ngikutin budaya gila kerja semacam ini. Sayangnya, nggak semua orang bisa dapet hasil yang sepadan.
Tren budaya yang tergesa-gesa ini bahkan bisa bikin seseorang jadi ‘burn out’.
Dari situ, muncul lah yang namanya ‘quiet quitting’ sebagai responsnya. Secara harfiah, ini artinya ‘berhenti diam-diam’.
Fenomena ini berarti seseorang memutuskan untuk bekerja nggak lebih dari yang seharusnya: Nggak kerja terlalu keras, nggak lembur, nggak kerjain kerjaan di luar jobdesc.
Tapi, apakah ini bisa jadi solusi?
Berbagai alasan orang ‘quiet quitting’
Ada beberapa alasan orang melakukan quiet quitting di tempat kerjanya.
Salah satunya, seseorang lebih memilih untuk mendedikasikan waktu dan energinya ke sesuatu yang lebih bermakna di hidupnya. Jadi, hidup nggak selalu tentang kerja.
Menurut dosen di University of College London’s School of Management, Anthony Klotz, hal ini bisa mengarah pada kesejahteraan yang lebih baik. Seseorang pun nggak perlu memikirkan pekerjaan mereka 24/7.
Nggak cuma itu, ada pula alasan orang memilih untuk kerja secukupnya karena merasa tak dihargai oleh atasannya.
Bahkan menurut Harvard Business Review, quiet quitting itu bukan soal karyawan yang nggak becus, tapi bos yang buruk.
Lakuin kerjaan bare minimum ada bagusnya?
Melansir CNBC, ngerjain pekerjaan dengan secukupnya aja – alias bare minimum – bisa jadi hal yang bermanfaat.
“Para pekerja bisa lebih berpikir ‘outside the box’, merasa lebih segar dan lebih efisien dalam waktu mereka bekerja,” ujar seorang senior specialist di perusahaan human resources consulting.
Bukan berarti malas-malasan, kita semestinya menghargai waktu dan energi kita sendiri untuk bisa membuat hasil yang lebih bagus.
Tapi sayangnya, ada beberapa hal yang mesti kita pikirin dari quiet quitting.
Jangan asal quiet quitting, ini yang mesti lo pertimbangkan!
Menurup para ahli, quiet quitting bisa jadi hal yang mengkhawatirkan.
Kalau dilakukan dengan nggak optimal, bisa-bisa kita malah jadi kekurangan motivasi kerja, skill pun nggak banyak berkembang (underdeveloped skills), hingga kurang kemampuan buat kerja di dalam tim.
Selain itu, ada efek lainnya yang mesti kita pertimbangan adalah adanya kemungkinan munculnya kecemburuan antar kolega. Hal ini bisa terjadi saat seseorang merasa bekerja jauh lebih keras daripada yang lainnya, dengan upah yang sama.
What are your thoughts? Let us know!