TikTok bukan platform baru. Aplikasi itu sudah sudah dikembangkan sejak tahun 2016 dengan nama Douyin, sebelum akhirnya merangkak naik ke puncak popularitas dari tahun 2018 hingga sekarang.

Sejak kemunculannya, ada banyak tren yang pasang surut—perkara “relationship standards” jadi salah satu contohnya.

Sesuai namanya, “relationship standards” fokus pada kriteria pasangan ideal. Melalui tren ini, ada dorongan untuk merinci harapan mereka terhadap seorang pasangan. Rincian ini kerap disampaikan dengan nada humor. Namun nggak jarang pula, “relationship standards” justru mencerminkan ekspektasi yang terlalu tinggi.

Salah satu contoh yang kerap ditemukan di platform ini adalah pengguna yang mengunggah daftar panjang tentang kriteria pasangan ideal mereka. Mulai dari penampilan fisik seperti tinggi badan, kebersihan, warna mata tertentu, hingga karakteristik kepribadian seperti kemampuan berkomunikasi, kesetiaan, atau bahkan gaya berpakaian. Dan kerap kali, ekspektasi tersebut diinterpretasikan dalam bentuk terminologi baru.

Hiburan?

Salah satu terminologi tersebut adalah istilah Doberman Guy yang digambarkan sebagai sosok yang maskulin, protektif, dan kuat, atau Golden Retriever Boyfriend yang cerdas, penuh kasih sayang dan mudah bergaul. Sepintas, istilah-istilah tersebut mungkin tampah menghibur dan bersifat jenaka. Tapi kalo dipikir-pikir lagi, bukan nggak mungkin jika istilah-istilah tersebut memicu ekspektasi pasangan yang sulit dicapai dan menimbulkan dampak negatif pada dinamika hubungan interpersonal?

Dalam satu contoh gambar yang sempat viral di TikTok, seseorang menggambarkan pasangan ideal sebagai “pria tinggi dengan kepribadian yang menyenangkan, kemampuan berkomunikasi dengan baik, memiliki sifat protektif seperti “doberman guy” yang setia, serta memiliki mata coklat gelap yang intens. Namun, di akhir kalimat tersebut, dia juga menambahkan “he doesn’t exist”, seolah menyiratkan bahwa pasangan dengan kriteria tersebut tidak nyata sama sekali.

Ketika seseorang mulai menilai kelayakan pasangannya berdasarkan serangkaian kriteria yang sering ditemukan di TikTok, selalu ada risiko bahwa mereka akan kesulitan menerima pasangannya dengan segala kekurangan yang ada. Bahkan, mereka mungkin merasa diri sendiri tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan.

Alhasil, pencarian pasangan yang memenuhi “relationship standard” pun jadi proses lingkaran setan yang jauh dari esensi penting pencarian pasangan: kebersamaan, kompromi, dan saling menghargai. 

Peran antara pasangan yang makin fleksibel

Tren “relationship standards” yang berkembang di TikTok tidak hanya mencerminkan ekspektasi tinggi dalam hubungan, tetapi juga memperlihatkan perubahan dalam peran gender. Media sosial memberi ruang bagi individu, baik pria maupun wanita, untuk mengungkapkan harapan mereka terhadap pasangan secara terbuka, yang akhirnya menciptakan karakterisasi gender baru seperti “Doberman guy,” “Golden Retriever boyfriend,” dan “Black cat girlfriend.”

Istilah-istilah ini menggambarkan sifat dan kepribadian yang diinginkan dalam pasangan, yang secara tidak langsung mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap peran gender. Misalnya, “Golden Retriever boyfriend” merujuk pada pria yang lembut, setia, dan penuh kasih, bertentangan dengan stereotip maskulinitas tradisional yang mengedepankan ketegasan dan kekuatan. Sebaliknya, “Doberman guy” menggambarkan pria yang protektif dan kuat, namun tetap setia. Fenomena ini mencerminkan pergeseran dari peran gender yang kaku ke arah peran yang lebih cair, di mana kepribadian dan harapan dalam hubungan tidak lagi terbatas pada norma-norma gender tradisional.

Tren ini juga mendorong perubahan peran gender: pria tidak hanya diharapkan dominan, tetapi juga dapat menampilkan sisi lembut mereka, sementara wanita didorong untuk lebih mandiri dan kuat. Meskipun memberikan ruang bagi fleksibilitas peran gender, tren ini sering kali menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dan menekan individu untuk memenuhi peran yang tidak sesuai dengan karakter asli mereka.

Selain itu, standar tinggi yang ditetapkan dalam tren ini seringkali mengabaikan kenyataan bahwa setiap individu memiliki kekurangan. Ketika seseorang berusaha mencapai “pasangan ideal” seperti yang digambarkan di media sosial, hubungan mereka rentan terhadap kekecewaan. Misalnya, TikTok memperkenalkan tren “Standards test,” yang mengungkapkan bahwa sebagian besar orang menemukan bahwa hanya kurang dari 1% dari populasi yang memenuhi kriteria pasangan ideal mereka. Hal ini menunjukkan betapa tinggi ekspektasi yang ada, yang justru memperkecil peluang menemukan pasangan yang cocok, mengarah pada frustrasi dan ketidakpuasan.

Pergeseran dalam standar pasangan ini juga mencerminkan perubahan sosial yang lebih besar. Di masa lalu, pria sering dinilai berdasarkan penampilan fisik, kekuatan, atau stabilitas finansial. Kini, standar tersebut semakin melibatkan aspek emosional, seperti kemampuan berkomunikasi dan kesetiaan. TikTok, misalnya, menampilkan konten dengan kriteria seperti “good communicator” dan “won’t lie to me,” yang mengharapkan pria lebih terbuka secara emosional. Hal ini menandakan perubahan dari stereotip maskulinitas tradisional menuju harapan yang lebih emosional dan berbasis karakter.

Namun, standar ini seringkali memperkuat stereotip gender tertentu. Misalnya, harapan bahwa pria harus lebih tinggi dari wanita dalam sebuah hubungan memperkuat peran gender yang lebih dominan. Ini berpotensi menekan pria untuk menyesuaikan diri dengan citra maskulinitas yang sempit, yang lebih menekankan atribut fisik daripada kualitas emosional atau intelektual.

Kesimpulannya, meskipun tren ini membuka ruang bagi fleksibilitas peran gender, ekspektasi yang tidak realistis dapat merusak hubungan di dunia nyata. Standar pasangan yang terlalu tinggi atau spesifik membuat banyak orang merasa tertekan, baik dalam memenuhi harapan pasangannya maupun dalam menilai diri mereka sendiri. Di tengah globalisasi dan kemajuan teknologi, media sosial seperti TikTok memainkan peran penting dalam membentuk pandangan kita terhadap hubungan, namun kita perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam gambaran ideal yang jauh dari kenyataan.

  • Perbedaan Cara Pandang Gen Z Soal Pekerjaan: Inovasi atau Masalah?

  • Gimana Etika Bawa Anak Ketika Nonton Bioskop?

  • Pelajaran Hidup yang Gue Dapetin Selama Lebih dari 1 Dekade Berlari