Kalau lo pernah ngejalanin ospek, mungkin lo pernah denger peraturan ini:
- Senior selalu benar.
- Kalau senior salah, balik ke poin nomor 1.
Dua aturan ini mungkin nggak asing di telinga kita. Saat seharusnya para maba (mahasiswa baru) merasa ‘bebas’ dari belenggu jam sekolah, kenyataannya nggak selalu sebebas itu.
Seperti yang baru-baru ini viral di media sosial, kasus salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten.
Para maba pun dijemur selama berjam-jam tanpa ada tujuan yang jelas. Nggak sedikit orang yang ikut resah. Pasalnya, kegiatan ini dianggap nggak memperhatikan kesehatan para maba.
Apa gunanya?
Ospek sendiri adalah singkatan dari Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Bahkan, ini juga diatur dalam keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 25 tahun 2014, tujuannya:
“Memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru agar dapat lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus, khususnya kegiatan pembelajaran dan kemahasiswaan.”
Sebenernya sih, kegiatan ini bisa bermanfaat banget buat para maba. Tapi nyatanya, banyak yang malah jadi ajang senioritas, ‘jago-jagoan’, hingga perploncoan.
Dari mana ospek dan senioritas yang problematis ini?
Kegiatan ospek nyatanya sudah ada di Indonesia dari zaman kakek nenek di masa penjajahan.
Para junior harus membersihkan kelas atas perintah senior selama tiga bulan. Selain itu, mereka juga harus berkenalan dengan teman-teman baru. Budaya ini pun terus berkembang dan makin keras, para junior digunduli, dibentak, diplonco.
Banyak pihak, termasuk CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) saat itu nggak setuju dan menolak perploncoan ospek di kampus.
Kenapa gaya senioritas kayak gini udah nggak relevan
Soe Hok Gie pernah bilang, “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa, merintih ketika di tekan, menindas ketika berkuasa.”
Kata-kata itu sepertinya masih bisa kita pakai kalau ngomongin soal gimana budaya senioritas dan ospek yang udah ketinggalan zaman itu masih ada sampai sekarang.
Umumnya, gaya senioritas kayak gini datang saat para senior menuntut juniornya untuk menaruh respect, atau menghormatinya.
Padahal, sangat keliru kalau kita memberi rasa hormat ke semua orang, menurut psikolog asal Kanada, Jordan Bernt Peterson.
Menurutnya, menghormati sembarang orang cuma bakal membuat kehormatan itu tak berarti. Bayangkan kalau kita dipaksa untuk menghormati mereka-mereka yang bikin kegiatan bodoh dan tak ada faedahnya.
Sering kali, agenda-agenda seperti berlama-lama dijemur itu diadakan, dengan dalih ‘melatih mental’ dan ‘membangun karakter’.
Padahal, menurut berbagai penelitian, karakter maupun kepribadian seseorang nggak mungkin bisa berubah, apalagi hanya dalam waktu beberapa hari.
What are your thoughts? Let us know!