Hurry sickness nggak selalu produktif
Meski terdengar asing buat banyak orang, budaya serba tergesa-gesa alias hurry sickness udah jadi hal yang lumrah buat banyak orang.
Semua serba buru-buru; pengen cepet sukses, cepet nikah, cepet berkomentar. Siklus serba buru-buru ini terus berulang-ulang meski tak jarang berakhir jadi masalah.
Lantas gimana baiknya kita menghadapi hurry sickness?
Baca juga: Ilmuwan: 13 Paus Mati, Pertanda yang Mengkhawatirkan
Sudah lama ada di Korea Selatan
Perlu diketahui, budaya “serba buru-buru” ini sudah lama diterapkan di Korea Selatan. Negara tersebut menyebut budaya tersebut dengan sebutan ppalli ppali.
Ppalli ppalli mencuat pertama kali pada era 1960-an ketika Korea Selatan Park Chung Hee menjabat. Ketika itu negara tersebut tengah mengalami proses industrialisasi yang pesat.
Presiden Park Chung Hee pun dikenal sebagai sosok yang suka semua hal serba cepat. Bahkan suka ngasih reward ketika perusahaan menyelesaikan proyek dan konstruksi lebih cepat dari jadwal. Imbasnya pun terasa hingga saat ini, dari pembangunan infrastruktur yang begitu pesat, hingga jasa pengantaran makanan yang juga begitu cepat.
Namun seiring berjalannya waktu, Korea Selatan mulai banyak mendiskusikan perkara work-life balance. Hal ini dipicu keinginan warga negara tersebut untuk mencari ketenangan. Bahkan tak sedikit yang menolak untuk hidup di kota besar dan memilih untuk tinggal di kota kecil.
Baca juga: Bagaimana Fanbase K-Pop Sebarkan Semangat Positif
Menyiasati hurry sickness
Berkaca pada Korea Selatan, ada baiknya jika kita menyadari ketika kita mengalami hurry sickness. Dimulai dengan salah satu kebiasaan; keinginan untuk membuat setiap detik jadi produktif.
“Kita mengenali kebiasaan ini sebagai multitasking” jelas Rosemary K.M. Sword, penulis dan co-developer dari time perspective therapy, dikutip dari healthline.
“Banyak orang mengaplikasikan multitasking dalam kehidupan mereka dan bangga pada dengan kemampuan melakukan lebih dari satu hal dalam waktu bersamaan.”
Hurry sickness kerap melibatkan rasa anxiety; ketika lo mengalami hurry sickness, lo jadi makin waspada dengan tiap detik dan membayangkan hal-hal yang bisa lo harusnya bisa lakukan dengan waktu yang terbuang. Alih-alih produktif, lo malah tidak bisa berfungsi dengan optimal.
Bukan tidak mungkin kalo lo jadi sulit konsentrasi karena lo selalu resah membayangkan hal-hal yang harus lo lakukan. Dalam jangka panjang, hal ini juga berdampak secara fisik, menyebabkan gangguan tidur, sakit kepala hingga penurunan imun.
Karena itu, ada baiknya lo slow things down.
Salah satunya dengan menghabiskan waktu untuk berjalan kaki santai. Kebiasaan ini terbukti bisa meningkatkan self-esteem dan meringankan rasa anxiety.
Selain itu, healthline juga menganjurkan kebiasaan mindfulness — misalnya dengan meditasi dan menghirup napas dalam-dalam — yang bisa membantu lo fokus ketika beraktivitas.
Ada baiknya juga kalo lo tau batasan diri dan mulai memprioritaskan relaksasi diri.
Jika semua terasa overwhelming, coba cari bantuan therapist yang bisa membantu lo mengidentifikasi rasa resah lo.
Your thoughts? Let us know!
Hurry society. Pernah baca istilah yang menggambarkan masyarakat serba tergesa.
Tergesa sukses. Tergesa naik jabatan. Tergesa menikah. Tergesa bereaksi. Tergesa berkomentar. Tergesa… Berakibat munculnya banyak masalah.
Skill penting yg perlu dilatih: melambat, sabar menunggu.
— Adjie Santosoputro (@AdjieSanPutro) September 30, 2022